POLEMIK di Desa Riung, Kabupaten Ngada, kembali mencuat ke ruang publik setelah penjabat sementara (Pjs) Kepala Desa diduga melakukan pemberhentian sepihak terhadap sejumlah unsur Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD), seperti RT, RW, dan anggota PKK. Lebih dari itu, keputusan tersebut ditengarai memiliki unsur kedekatan keluarga yang memicu tudingan praktik kepemimpinan dinasti di tingkat desa.
Meski kasus ini tengah dalam sorotan berbagai pihak, sudut pandang yang tak kalah penting adalah perlunya penegakan prinsip etika pemerintahan dan sistem kontrol yang seimbang di tingkat desa, terutama dalam masa transisi kepemimpinan seperti yang diemban Pjs kepala desa.
Kondisi di Desa Riung menunjukkan bagaimana lemahnya kontrol sosial dan pengawasan formal dapat membuka ruang bagi tindakan sepihak, termasuk pergantian perangkat atau LKD tanpa musyawarah desa maupun rekomendasi dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Pengamat kebijakan publik lokal, Y. S., menyatakan bahwa pejabat sementara memiliki tugas administratif dan transisional, bukan kekuasaan penuh layaknya kepala desa definitif. “Pjs seharusnya menjaga stabilitas desa sampai pemilihan definitif, bukan malah memanfaatkan posisi untuk menyusun struktur kekuasaan baru yang sarat kepentingan,” ujarnya.
Penataan ulang struktur desa, menurutnya, hanya dapat dilakukan dengan prinsip transparansi, musyawarah, dan memperhatikan asas keadilan sosial. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap pemerintah desa akan terkikis, dan polarisasi di tengah masyarakat dapat semakin tajam.
Kasus Desa Riung kini menjadi pengingat penting bagi pemerintah daerah agar lebih ketat dalam membina dan mengawasi Pjs kepala desa, serta memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan selama masa jabatan sementara.
Masyarakat berharap kejadian serupa tidak terulang di desa-desa lain. Mekanisme pengaduan warga, peran aktif BPD, dan keterlibatan lembaga adat lokal menjadi elemen penting untuk menjaga marwah demokrasi di tingkat desa.
Redaksi01- Alfian