PEMERINTAH melalui Kementerian Koperasi dan UKM terus menggulirkan program nasional Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KopDes/Kel Merah Putih) sebagai upaya strategis membangun ekonomi kerakyatan dari akar rumput. Namun, di balik pencapaian angka yang impresif, tantangan implementasi program ini di tingkat desa masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera diatasi.
Data per Minggu (29/06/2025) menunjukkan, sebanyak 80.367 dari 83.762 desa/kelurahan di Indonesia telah menggelar musyawarah khusus untuk membentuk koperasi. Dari jumlah tersebut, 83.512 desa telah diverifikasi. Angka ini memperlihatkan respons yang sangat tinggi dari pemerintah desa terhadap program nasional ini.
Namun, sejumlah laporan dari lapangan mengungkapkan bahwa keberhasilan administratif tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kesiapan operasional koperasi yang dibentuk. Banyak di antara koperasi yang masih menghadapi kendala dalam permodalan, kurangnya pendampingan teknis, hingga terbatasnya kapasitas SDM pengelola.
Selain itu, skema program yang terbagi menjadi tiga—pembentukan koperasi baru, pengembangan koperasi aktif, dan revitalisasi koperasi mati suri—memerlukan pendekatan berbeda di tiap desa. Beberapa kepala desa mengaku masih membutuhkan pelatihan lanjutan dan regulasi teknis yang lebih rinci agar koperasi yang dibentuk benar-benar mampu menggerakkan ekonomi lokal.
“Yang kami butuhkan bukan hanya pembentukan, tapi bagaimana koperasi ini bisa benar-benar berjalan, mengelola usaha produktif, dan memberi hasil nyata bagi warga,” ungkap seorang kepala desa di Kabupaten Minahasa yang enggan disebutkan namanya.
Tagline program “Bangkitkan Potensi Ekonomi dari Desa ke Desa” memang menggugah. Namun, untuk menjadikannya lebih dari sekadar slogan, berbagai elemen pendukung—seperti penguatan manajemen koperasi, digitalisasi layanan, dan akses permodalan—perlu segera dipercepat.
Jika tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi, maka KopDes/Kel Merah Putih berpotensi menjadi pilar utama transformasi ekonomi pedesaan secara berkelanjutan. Namun bila tidak, koperasi yang dibentuk bisa saja berakhir sebagai formalitas tanpa dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Redaksi01-Alfian