Tradisi Manten Kucing: Upacara Mempertahankan Kearifan Lokal di Desa Pelem

TULUNGAGUNG – Indonesia memiliki kekayaan budaya dan berbagai tradisi unik yang masih terjaga hingga saat ini. Salah satunya adalah Manten Kucing, sebuah ritual khas masyarakat Tulungagung yang bertujuan memohon turunnya hujan di tengah musim kemarau panjang.

Salah satu yang rutin menggelar tradisi ini adalah warga Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Mereka melaksanakan ritual Manten Kucing secara sakral pada setiap tahunnya sebagai upaya dalam melestarikan budaya lokal.

“Tradisi Manten Kucing atau ngedus kucing ini sudah dilaksanakan oleh warga Desa Pelem sejak puluhan tahun lalu, dan biasanya dilakukan saat kemarau panjang. Kami berharap doa kami didengar dan hujan segera turun,” kata Mujialam, Kepala Desa Pelem , Jumat (6/12/2024).

Menariknya ritual ini adalah penggunaan sepasang kucing jantan dan betina jenis Condromowo, yang memiliki tiga warna utama. Kucing-kucing ini dipilih dari dua arah berbeda di desa, yakni timur dan barat. Setelah itu, mereka dimandikan di Telaga Coban Kromo menggunakan air bercampur bunga yang melambangkan proses penyucian.

“Coban Kromo merupakan sumber air utama bagi warga Desa Pelem untuk keperluan sehari-hari, termasuk mengairi lahan pertanian. Meskipun saat musim kemarau, tidak pernah mengering. Jadi, ritual ini dilaksanakan saat debit air Coban Kromo terus berkurang dan mengering,” jelasnya.

Usai dimandikan, kucing-kucing ini diarak keliling desa seperti pengantin, melibatkan masyarakat setempat, tokoh desa, dan biasanya diiringi kesenian tradisional seperti Reog Kendang dan Jaranan Senterewe. Dalam prosesi ini, kucing ditempatkan dalam keranjang dan dibawa oleh pria dan wanita yang mengenakan busana adat.

Setelah tiba di lokasi pelaminan, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh sesepuh desa, diikuti selamatan sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Sebagai penutup, diadakan Tiban, sebuah tarian khas di mana dua pria bertelanjang dada saling mencambuk dengan lidi aren.

Selain sebagai permohonan hujan, Manten Kucing juga menjadi sarana silaturrahmi antarwarga. Saat ini, tradisi Manten Kucing juga dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai daya tarik pariwisata yang dapat mempererat kebersamaan masyarakat.

Tradisi Manten Kucing tidak hanya menjadi simbol kearifan lokal masyarakat Jawa, tetapi juga dianggap sebagai penangkal kemarau panjang atau bencana. Tradisi ini diadakan setiap tahun, tidak hanya sebagai permohonan hujan, tetapi juga sebagai pelestarian budaya dan warisan leluhur.

“Ritual ini bahkan telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia, ini adalah bukti pentingnya pelestarian tradisi Manten Kuucing bagi identitas budaya bangsa,” imbuh Mujialam.
Sejarah Ritual Manten Kucing

Ritual Manten Kucing merupakan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dan telah ada sejak masa penjajahan Belanda. Tradisi ini telah menjadi bagian penting dari kepercayaan masyarakat lokal tentang legenda seorang sesepuh Desa Pelem bernama Eyang Sangkrah.

Pada masa lalu, Desa Pelem dan sekitarnya mengalami kemarau panjang yang menyebabkan warga kesulitan mendapatkan air. Eyang Sangkrah, tokoh yang membabat Desa Pelem, suatu ketika mandi di Telaga Coban sambil membawa seekor kucing bernama Condro Mowo.

Saat kucing tersebut dimandikan, kejadian tak terduga terjadi. Hujan deras turun di Desa Pelem, membawa kebahagiaan dan rasa syukur warga yang telah lama menanti. Masyarakat meyakini turunnya hujan tersebut berkaitan dengan peristiwa Eyang Sangkrah dan kucing Condro Mowo, sehingga ritual memandikan kucing ini dijadikan tradisi tahunan yang dikenal sebagai Manten Kucing.

Kemudian, pada tahun 1926, ketika Desa Pelem dipimpin oleh Demang Sutomejo, daerah tersebut kembali mengalami kemarau panjang. Berdasarkan wangsit atau petunjuk, diadakan kembali upacara memandikan dua ekor kucing Condro Mowo di Telaga Coban.

“Biasanya, beberapa hari setelah ritual tersebut dilangsungkan, hujan kembali turun dan memberikan harapan bagi masyarakat,” kata Mujialam.

Warga Desa Pelem mengawali prosesi upacara Manten Kucing dengan mempersiapkan uburampe, yaitu perlengkapan untuk pelaksanaan ritual. Setelah semua persiapan selesai, dilakukan kirab kucing Condro Mowo yang ditempatkan dalam keranjang.

“Kucing yang dikirab terdiri dari sepasang kucing jantan dan betina berwarna putih dan hitam. Dalam kirab tersebut, pasangan kucing ini berada di barisan terdepan, diikuti oleh para sesepuh dan tokoh desa yang mengenakan pakaian adat Jawa,” jelas Mujialam.

Sesampainya di Telaga Coban, kucing Condro Mowo dimandikan secara bergantian dengan air telaga yang dicampur bunga setaman. Setelah proses pemandian selesai, pasangan kucing tersebut diarak menuju pelaminan, di mana berbagai perlengkapan telah disiapkan.

Kucing jantan dan betina ini dipertemukan di pangkuan seorang pria dan wanita yang duduk di kursi pelaminan, mengenakan pakaian pengantin. Upacara ini diakhiri dengan pembacaan doa-doa oleh sesepuh desa, berlangsung selama kurang lebih 15 menit.

Keunikan upacara ini juga terlihat pada tahun 2007, ketika sesepuh desa menyanyikan lagu-lagu tradisional saat kucing jantan dan betina dipertemukan di pelaminan. Setelah prosesi Manten Kucing selesai, acara dilanjutkan dengan pagelaran seni budaya seperti Tiban dan Langen Tayup.

Tiban adalah kesenian menggunakan cambuk dari lidi pohon aren, di mana keluarnya darah segar dari pemain menandakan bahwa syarat untuk meminta hujan telah terpenuhi. Ritual ini, mulai dari Manten Kucing hingga Tiban dan Langen Tayup, menjadi satu rangkaian untuk memohon turunnya hujan.

Nilai-nilai Tradisi Manten Kucing
Manusia dianugerahi kelebihan oleh Sang Pencipta berupa akal, budi pekerti, nalar, rasa, dan karsa, yang mendorong terbentuknya budaya positif. Dengan budaya yang baik, masyarakat memperoleh norma-norma yang membawa dampak positif.

Tradisi budaya seperti Manten Kucing mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, seperti tolong-menolong dan saling menghormati, yang menciptakan kerukunan, kedamaian, serta kesejahteraan. Dalam prosesi Manten Kucing, masyarakat diajak untuk menjunjung semangat Guyup Rukun.

Budaya juga mengajarkan nilai-nilai luhur dan mencerminkan norma positif bagi generasi muda. Namun, tantangannya terletak pada kemampuan generasi muda untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai tersebut. Sayangnya, saat ini kebudayaan seringkali hanya dianggap sebagai tontonan, bukan lagi tuntunan, sebagaimana yang terjadi dalam realitas kehidupan.[]

Redaksi10

About Rara

Check Also

Maulid Adat Bayan, Tradisi Sakral yang Menarik Wisatawan Lokal dan Mancanegara

LOMBOK UTARA – Maulid Adat Bayan merupakan tradisi tahunan yang diadakan oleh masyarakat adat Bayan …

Menjaga Kerukunan di Tengah Keberagaman, Desa Baru Belitung Timur Jadi Percontohan

BELITUNG TIMUR – Pemerintah Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mendukung program Desa Sadar …

Warisan Arsitektur Henri Maclaine Pont dan Romo Jan Wolters, Gereja Puhsarang Raih Status Cagar Budaya Nasional

KEDIRI – Pemerintah Kabupaten Kediri, Jawa Timur, memberikan apresiasi penetapan Gereja Puhsarang di Desa Puhsarang, …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *