ALOR – Program Desa Devisa yang dijalankan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank terbukti membantu meningkatkan kesejahteraan penenun di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di sektor tenun tradisional.
“Dari program ini, didapatkan rata-rata peningkatan per penenun 30 persen, yang awalnya Rp750 ribu hingga Rp1 juta per bulan, sekarang Rp975 ribu hingga Rp1,3 juta per bulan,” kata CEO Tenunin, Hayatul Fikri Aziz, dalam media briefing di Labuan Bajo, Kamis.
Program Desa Devisa Tenun NTT kini mencakup 31 desa di lima kabupaten yaitu Alor, Belu, Sikka, Ende, dan Sumba Timur. Sejak dimulai, program ini telah berkembang dari hanya lima kelompok dengan 120 penenun menjadi 522 penenun yang aktif di berbagai wilayah.
Salah satu penenun inspiratif adalah Mama Sariat Tole dari Kampung Hula, Pulau Alor. Ia telah menekuni seni menenun sejak usia lima tahun. Dalam proses produksinya, Mama Sariat menggunakan benang kapas hasil tanam sendiri dan pewarna alami dari bahan lokal seperti tinta cumi, daun kelor, kunyit, hingga akar mengkudu.
Karya-karya Mama Sariat telah dipamerkan di 13 negara dan tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pembuat warna alami terbanyak untuk kain tenun.
LPEI pun memberdayakan Mama Sariat sebagai mentor dalam program Desa Devisa Klaster Tenun NTT. Ia mendampingi para penenun dalam penggunaan teknik pewarnaan organik dan pemanfaatan benang alami, demi menjaga keaslian budaya sekaligus meningkatkan nilai jual produk tenun.
Dengan pelibatan masyarakat lokal dan pelestarian budaya tradisional, Program Desa Devisa terbukti tak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas budaya tenun khas NTT di pasar global.
Redaksi03