BANDUNG – Mulai dari mengurus bank sampah, menjadi kader posyandu, menyiapkan rumah aman, bertugas sebagai wali kelas lansia, hingga mengelola green house, perempuan di Desa Mandalahaji, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, memegang peran penting dalam merawat masyarakat.
Saya berkesempatan bertemu salah satu dari perempuan hebat di desa ini, Ibu Dewi, bersama rekan-rekannya pada 28 Januari 2025, Minggu pagi. Desa Mandalahaji terletak di dataran tinggi pegunungan Bandung Selatan, berjarak sekitar 33 KM dari bilangan paling sibuk se-Bandung Raya: Braga CityWalk.
Tiga hari sebelum kedatangan, lewat komunikasi udara, perempuan 49 tahun tersebut sudah menyanggupi untuk menemani saya ke tempat Bank Sampah yang ia kelola dan hidupi bersama sejumlah perempuan desa sejawatnya. Bangunan gubuk kayu yang didirikan secara kolektif dan swadaya itu berada di atas tanah pinjaman dari seorang dermawan. Dengan kata lain, sewaktu-waktu, tanah itu dapat kapan saja diambil kembali jika sang pemilik membutuhkan.
“Kebutuhan paling mendesak Bank Sampah kami hari ini adalah lahan. Semuanya mungkin bisa kami inisiasi dengan gotong royong, namun lahan yang mahal sepertinya adalah hal yang mustahil dapat kami atasi sendiri,” tutur Dewi saat perjalanan dari rumahnya menuju Bank Sampah.
Sesampainya di lokasi Bank Sampah Mandiri, sudah ada lima perempuan duduk melingkar yang terlihat teliti dan cermat memilah sampah. Mana yang punya nilai ekonomis dan dapat dijual kembali, mana yang residu dan harus dibakar.
Kelimanya adalah Tuti Karwati (38 tahun) yang juga menjadi sekretaris, Cici (39), Eulis Yati (44), Ayi Komariyah (53) dan Widia (21). Ayi merupakan anggota tertua dari Bank Sampah, sedangkan Widia adalah anggota termuda. Artinya, Bank Sampah Mandiri dikelola oleh sejumlah perempuan dengan kelompok usia yang cenderung berbeda-beda.
Setidaknya tiga kali dalam seminggu para perempuan di Bank Sampah Mandiri memilah sampah. Mereka juga mendatangi rumah-rumah para nasabah (sebutan untuk masyarakat yang menggunakan jasa perawatan dari Bank Sampah Mandiri), untuk mencatat, memberi estimasi harga sekaligus mengumpulkannya di satu titik untuk memudahkan dua petugas laki-laki yang lain mengambil sampah tersebut sekali seminggu.
Mereka bekerja mulai pukul sembilan pagi hingga satu siang. “Bisa dikatakan, per hari ini kami bekerja secara sukarela sama halnya ketika di posyandu. Pendapatan yang tak seberapa dari Bank Sampah untuk sementara hanya cukup untuk biaya operasional saja,” terang Dewi.
Nasabah Bank Sampah Mandiri, yang sekarang berjumlah 44, menabung sampah, yang uangnya bisa diambil minimal sebulan sekali. Semua jenis sampah yang dapat didaur ulang ditampung terlebih dahulu dengan sistem menabung, termasuk kardus, gelas dan botol plastik. Hanya saja, kata Dewi, beberapa nasabah ada yang langsung meminta cash.
Dewi mengatakan, per kilogram sampah dari nasabah dibanderol dengan harga Rp. 2000. Harganya fluktuatif dan bisa naik turun, tergantung kondisi. Namun, terkadang, beberapa nasabah memilih menjual ke pengepul lain karena bisa mendapatkan harga yang lebih bagus.
“Sering sekali waktu penjemputan, ternyata sampah-sampah dari nasabah sudah dijual ke pengepul lain. Kami kalah cepat. Ya gimana lagi, kami juga tidak bisa melarang mereka. Kerja kami ini kan kerja untuk saling mengerti dan memahami,” terang Dewi.
Berdiri pada tahun 2023 atas inisiasi kelompok perempuan yang sebelumnya juga aktif di kegiatan posyandu, Bank Sampah Mandiri resmi dibentuk. Mandiri adalah sebuah akronim dari ‘Mandalahaji Bersih dan Asri’. Taglinenya adalah: Rubah [sic] Sampah Jadi Berkah.
Saat saya berkunjung, Bank Sampah Mandiri genap berusia dua tahun. Para perempuan itu merayakannya dengan makan singkong dan kacang rebus bersama di kantor Posyandu, seusai menyelesaikan aktivitas di Bank Sampah.
Kerja Perawatan dan Beban terhadap Perempuan
Apa yang dilakukan Dewi dan teman-temannya di posyandu dan bank sampah sebelumnya hingga hari ini adalah jenis kerja perawatan tak berbayar.
Indonesian Labour Organization (ILO) mendefinisikan kerja perawatan sebagai aktivitas atau pekerjaan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, -dan emosional orang dewasa dan anak-anak, tua dan muda, lemah dan berbadan sehat, bayi baru lahir, orang tua, orang dengan disabilitas, yang membutuhkan perlindungan, perawatan, atau dukungan. Bahkan orang-orang yang sehat dan pula yang bekerja.
Kerja perawatan bisa dibayar atau tidak dibayar, dilakukan di dalam rumah tangga atau di luar rumah, dan berkontribusi signifikan pada ekonomi. Kerja-kerja perawatan masih didominasi oleh perempuan, sementara kerja perawatan tak berbayar, masih dianggap sebagai tugas perempuan. Alih-alih melihat yang mereka lakukan sebagai pekerjaan yang memiliki nilai ekonomi, Dewi dan teman-temannya memandang ini sebagai pengabdian.
Ini bukan pertama kali Dewi dan para perempuan lain pengurus Bank Sampah mendedikasikan waktu dan tenaga mereka untuk kerja kemasyarakatan di desa mereka. Sebelumnya mereka juga aktif sebagai kader posyandu, dan beberapa kegiatan lainnya.
“Justru karena ini berawal dari kelompok posyandu, kita sudah tahu karakter masing-masing. Jadi ini aja yang aktif, kalau di luar ini saya tidak bisa menjamin. Sulit kan cari orang yang benar-benar tulus, ikhlas dan semangat. Apalagi ini kerja yang tidak ada bayarannya,” urainya.
Di Indonesia tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di pekerjaan formal masih lebih rendah daripada laki-laki. Salah satu penyebabnya adalah norma gender yang masih membebankan kerja-kerja perawatan pada perempuan sehingga mempertajam kondisi ketimpangan gender.
Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu mengatakan bahwa kerja perawatan memang masih didominasi oleh perempuan, tidak hanya di desa, melainkan juga di perkotaan.
“Dalam sejarah kerja manusia, pada mulanya perempuan difokuskan pada kerja yang bersifat ke dalam (domestik), sementara laki-laki melakukan kerja-kerja ke luar atau yang menghasilkan barang dan memiliki nilai ekonomi. Dari sana ada pembagian tugas yang mulai ketat dan dianggap sebagai natural bahwa perempuan bertugas untuk melakukan kerja perawatan atau yang biasa kita sebut sebagai kerja reproduksi, sementara laki-laki lebih difokuskan kerja-kerja produktif yang menghasilkan nilai ekonomi, keuntungan dan lain sebagainya,” tuturnya saat saya wawancarai seusai bedah majalah Jurnal Perempuan edisi 118 di salah satu kafe di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat, (30/01/2025).
Padahal seharusnya, lanjut Abby, pada dasarnya kerja perawatan adalah kemampuan paling dasar yang selayaknya dimiliki semua orang, tidak hanya perempuan. Tetapi dikarenakan budaya pembagian kerja berdasarkan gender tersebut, ada pelanggengan atau normalisasi bahwa kerja perawatan adalah tugas perempuan.
“Jika dalam konteks masyarakat desa, yang menjadi pembeda menurut saya adalah akses terhadap pengetahuan dan informasi. Atau pola kebudayaan patriarkinya yang masih kuat, sehingga masih minimnya ruang kritik dan terus dilanggengkan begitu saja. Sementara masyarakat urban atau perkotaan situasi pendidikannya berbeda, akses informasi melimpah sehingga membuat pemahaman masyarakat menjadi lebih baik dan melahirkan anggapan bahwa kerja perawatan adalah kerja bersama atau kolektif,” ujarnya.
Abby menegaskan, diperlukan penghargaan terhadap kerja-kerja perawatan untuk mengubah cara berfikir yang sudah mengakar pada masyarakat. Kebijakan yang berpihak dapat mendorong transformasi sosial, juga mengubah paradigma.
“Misalnya, perjuangan dan pengawalan kebijakan terhadap RUU PRT yang masih belum disahkan. Dan juga, tidak hanya pekerja rumah tangga yang terabaikan, tetapi juga guru PAUD dan lain-lainnya, semuanya hampir dibayar secara sukarela. Karena tadi, dianggap sebagai bukan pekerjaan,” pungkasnya
Selain memang belum banyak yang faham dan mengenal, isu ini hanya sesekali muncul secara sporadis di permukaan, belum mendapat atensi khusus di luar agenda Beijing Platform 30+ yang digelar di Bangkok (21/11/2024) tahun lalu. Pun, dalam Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran yang berkait dengan kesetaraan gender dan penguatan peran perempuan, isu ekonomi perawatan baru saja dimasukkan dalam rancangan awal atau peta jalan RPJMN 2024-2045–meski sampai 100 hari pemerintahannya rencana prioritas kerja sampai saat ini belum menyinggung sama sekali isu ekonomi perawatan ini.
Padahal, inisiatif maupun aktivitas perawatan berbasis masyarakat di daerah pedesaan seperti yang dilakukan Dewi memberi kontribusi yang sangat penting dalam berbagai aspek.
Sebelum terjun ke Bank Sampah, Dewi juga sempat menjabat ketua Pos Pelayanan terpadu (Posyandu) Melati 17 sejak 2015. Sudah 10 tahun ia mengabdikan diri dan melakukan kerja perawatan di sana.
“Saya dulu sempat aktif, tahun 2000-an sudah pernah jadi kader tapi tidak lama, cuma sebentar, terkendala kesibukan. Karena kalau jadi Kader Posyandu itu kan harus siap setiap saat, sedangkan saya banyak kebutuhan. Daripada saya tidak dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya mending berhenti,” ujarnya.
Posyandu adalah salah satu contoh kerja perawatan penting yang dilakukan perempuan untuk merawat komunitas mereka tanpa bayaran. Relawan yang menjadi Kader Posyandu, biasanya masyarakat setempat, membantu pelayanan kesehatan di Posyandu. Tugas para relawan ini mendukung program kesehatan ibu dan anak, gizi, imunisasi, serta pencegahan penyakit dengan mendapatkan pelatihan dari Dinas Kesehatan atau Puskesmas setempat. Peran mereka sangat penting dalam mendekatkan layanan kesehatan kepada masyarakat, terutama di desa atau daerah terpencil
Meski berbasis kerelawanan dan lazimnya sudah ada jadwal pelayanan, para kader posyandu, harus siap setiap saat ketika ada masyarakat yang membutuhkan.
“Pas 2015 saya terjun lagi karena suami dipilih jadi ketua RW. Memang tidak harus, namun saya tergerak. Ada semacam tanggung jawab moral. Awalnya saya agak tidak mempedulikan, toh suami saya yang RW bukan saya. Tapi seiring berjalannya waktu saya mau,” katanya.
Dewi bercerita, di awal-awal menjadi ketua Posyandu Melati 17, masyarakat masih belum acuh pada pelayanan Posyandu. “Pas awal-awal masyarakat belum terpercaya. Kita sosialisasi terus menerus, memang menumbuhkan mindset baru perlu waktu panjang,” ujarnya.
Waktu berselang, lanjut Dewi, kesadaran masyarakat makin tumbuh. “Mulai dari sosialisasi di pengajian, lewat obrolan-obrolan santai ketika secara tak sengaja bertemu di pasar atau di jalan. Tidak melulu acara resmi. Pesan-pesan terkadang lebih meresap dan lebih mudah diterima dalam obrolan-obrolan santai di luar suasana formal,” terangnya.
Sebagai istri ketua RW, ibu dua anak ini juga membuka pintu rumahnya 24 jam untuk menjadi sebuah Rumah Aman Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Guru Besar Sosiolog Pembangunan Desa Institut Pertanian Bogor, Sofyan Sjaf berpendapat bahwa masih ada segmentasi dalam area kerja yang terjadi di desa-desa, dalam hal ini termasuk juga kerja perawatan.
“Biasanya perempuan bekerja di ranah-ranah yang lebih soft (domestik) sementara aktivitas berat atau produksi masih didominasi laki-laki, meski di dalam satuan aktivitas produksi tadi ada pembagian kerja,” urai pencetus Data Desa Presisi (DDP) tersebut saat saya wawancarai, Rabu, (05/02/2025) di Kebun Merdesa, Dramaga, Bogor.
Sofyan mencatat, melalui survei dalam DPP yang berbasis sensus, spasial dan partisipatif, fenomena di atas terjadi jika status kepala rumah tangganya adalah laki-laki. Tetapi jika yang menjadi kepala rumah tangga adalah perempuan biasanya akan lahir alternatif, dengan kata lain, pembagian kerja yang bersifat keras atau lembut tidak berlaku.
“Membicarakan pedesaan erat kaitannya dengan kondisi sosio-budaya dan kulturalnya. Masing-masing punya tradisi, ada semacam ikatan nilai, norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Itu masih mengakar, meskipun nanti saya kira ada proses pergeseran yang akan terjadi. Kemajuan teknologi akan banyak mengubah ke depan, termasuk segmentasi kerja,” papar Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB tersebut.
Selain Posyandu, Dewi juga menjadi salah satu wali kelas “Sekolah Lansia”. Sebuah program perawatan yang memberi edukasi seputar kesehatan, keterampilan dan pola hidup kepada para lansia di Desa Mandalahaji. Per hari ini, peserta Sekolah Lansia berjumlah 53 orang dan berasal dari beragam RW.
“Sebenarnya banyak yang berminat dan mendaftar, hanya saja dananya terbatas sebab sekolahnya gratis. Semua relawan dan pengelolanya juga tidak mendapat bayaran sama sekali,” urai Dewi.
Selain itu, Dewi dan teman-temannya yang berada di kepengurusan Bank Sampah juga tergabung dalam program kelompok wanita tani. Kelompok wanita tani adalah perkumpulan ibu-ibu yang dibentuk oleh pihak desa untuk mengelola green house dan mengedukasi masyarakat terkait pemanfaatan laha
“Dari pembibitan sampai penanaman berbagai tanaman sayuran, kita ditugasi untuk mengedukasi masyarakat agar setiap keluarga dapat memanfaatkan lahan pekarangan rumahnya untuk ditanami tanaman-tanaman yang bermanfaat. Baik untuk dikonsumsi atau dibuat obat tradisional,” ungkapnya.
Kesadaran Ekologi Perempuan Desa dan Peluang Ekonomi Perawatan
Wheny Purwati, Tenaga Ahli Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Kabupaten Bandung sekaligus fasilitator pendirian Bank Sampah Mandiri mengatakan, Mandalahaji terpilih sebagai salah satu desa untuk dilakukan kajian Desa Tematik dari program ‘Bandung Bedas Manunggal’–sebuah tajuk dari Bupati Bandung Dadang Supriatna.
“Kawasan tematik adalah suatu konsep kawasan dengan tema tertentu yang spesifik, memiliki ciri khas dan karakter wilayahnya. Salah satu faktor pemilihan Tematik Desa adalah angka IDM yang masih rendah, tahun 2022 status Desa Mandalahaji masih berkembang. Juga masih di bawah rata-rata IDM Provinsi Jawa Barat, maka diperlukan intervensi langsung dari pemerintah,” urainya saat saya hubungi via telepon, (26/01/2025).
Setelah dilakukan kajian tematik, Wheny melanjutkan, ditemukan 13 isu strategis yang ada di Desa Mandalahaji. Salah satu isu yang mengemuka, laten dan harus segera ditangani adalah sampah.
“Tahun 2022, di Desa Mandalahaji belum ada tempat pengelolaan sampah. Sampah dari aktivitas rumah tangga maupun pertanian hanya dibakar, ditumpuk di jalan, bahkan berserakan di selokan, sehingga cukup beresiko dalam menimbulkan dampak lingkungan. Oleh sebab itu, kami mengajak teman-teman dari posyandu yang saat itu diketuai Bu Dewi untuk sama-sama mendirikan Bank Sampah,” ungkapnya.
Selain untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah, tambah Wheny, dibentuknya Bank Sampah Mandiri juga sebagai harapan menciptakan peluang ekonomi dari kerja-kerja perawatan yang selama ini tak pernah dianggap penting.
“Beberapa kali kita lakukan pertemuan, diskusi dan juga melakukan studi tiru di Bank Sampah Barokah Desa Wangisagara. Bu Dewi dan teman-teman bersemangat dan yakin bisa mengadopsi cara mereka, maka saya juga ketularan semangat, ikut membantu dan mempersiapkan apa saja yang diperlukan,” jelas Wheny.
Di awal-awal, Wheny mengaku tak mudah mengatasi hambatan yang ada. Seperti meyakinkan pihak pemerintah desa dan proses mengedukasi masyarakat.
“Di beberapa keadaan, pihak pemerintah desa kan kadang harus diperlihatkan bukti dulu baru mau menyetujui dan mendukung. Jadi, kami berkomitmen untuk membuktikan tekad saya, Bu Dewi dan teman-teman yang lain,” ungkapnya.
Sama dengan Dewi, Wheny juga masih percaya bahwa Bank Sampah Mandiri di Desa Mandalahaji bisa terus tumbuh dan berkembang, serta menghasilkan peluang ekonomi dari kerja-kerja perawatan yang dilakukan.
“Jika posyandu adalah kerja perawatan yang dilakukan dalam urusan kesehatan, maka Bank Sampah adalah kerja-kerja perawatan untuk lebih mempedulikan lingkungan,” ujarnya memungkasi pembicaraan.
Mendengar cerita-cerita menggugah hati dari Dewi dan Wheny soal kesuksesan Bank Sampah Barokah di Desa Wangisagara, saya memutuskan mengunjungi desa yang berjarak 6.5KM dari Desa Mandalahaji tersebut.
Sebelum menuju lokasi, saya sudah berkomunikasi dengan Apong Ningrum, juga salah satu orang yang aktif mendampingi Bank Sampah Barokah. Saya mendapat nomornya dari Wheny.
Di saya saya bertemu dengan Apong Ningrum, 53, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) Wangisagara yang juga mendampingin Bank Sampah Barokah. Sejak 2007, Apong sudah aktif di lingkungan pemerintahan desa, ia seperti sudah tahu betul kondisi sosio-kultur masyarakat Wangisagara.
“Bank Sampah Barokah Wangisagara berdiri secara resmi tahun 2021. Ada dua motif yang melatarbelakangi pendirian bank sampah ini. Pertama, menjaga lingkungan. Kedua, menciptakan kemandirian ekonomi. Jadi sistemnya warga nabung sampah di kita, daripada dibuang cuma-cuma. Kebetulan Desa Wangisagara penduduknya banyak dan padat, ada 423 KK kurang lebih, jadi itu dilihat sebagai peluang,” terangnya.
Sebenarnya, lanjut Apong, upaya merawat lingkungan yang dilakukan masyarakat desa yang termasuk wilayah Kecamatan Majalaya itu sudah digalakkan sejak tahun 2017. Namun baru mulai benar-benar terstruktur ketika tahun 2021 atau ketika mendapat predikat Kampung Bersih dan Sehat.
“Kita bikin rencana aksi, melakukan sosialisasi kepada masyarakat sampai mengerti. Bahkan, kita juga menyusun peraturan desa (perdes) tentang setiap pasangan suami istri yang mau menikah harus menanam minimal satu pohon di desa. Juga setiap rumah diwajibkan memiliki dua lubang cerdas organik. Kita tidak tau 2045 air di dalam tanah masih ada atau ngga, kan?” tegasnya. Saya terbelalak.
Hingga hari ini, komunitas Bank Sampah Barokah Desa Wangisagara beranggotakan 68 orang, termasuk 45 perempuan dan 23 laki-laki, serta 423 nasabah. Artinya, semua warga Desa Wangisagara menikmati kerja perawatan yang dilakukan Bank Sampah Barokah.
“Semua warga ikut semua. Bahkan dari desa-desa lain, seperti Desa Mandalahaji kan kita yang mengepul sampahnya. Bisa dikatakan itu rintisan kita. Jadi kalau warga solid kan pengepul lain bukan jadi persoalan. Dari hasil dari menabung sampah, beberapa ada yang bisa dibuat bayar BPJS, tagihan listrik dan lain-lain. Setiap tahun juga kita memberi reward untuk penabung terbanyak dan rumah terbersih,” terang Apong.
Apong mengatakan selain memberi edukasi dan mengubah mindset masyarakat yang sebelumnya belum terbuka, dukungan dari pihak pemerintah desa juga sangat mempengaruhi keberlangsungan sebuah program.
“Semua stakeholder di sini saling membantu dan bahu membahu. Karang Taruna di sini juga aktif. Kita juga mendapat anggaran 6 juta setiap tahun dari Dana Desa. Bahkan kita sudah bisa menggaji anggota bank Sampah mulai Rp 400 ribu – Rp. 1.2 juta, tergantung seberapa besar tanggung jawabnya. Pemerintah desa kami berkeyakinan, sesulit apapun dan selama untuk kemajuan masyarakat, kenapa tidak?’” tandasnya.
Ini tentu sangat kontras dengan kondisi di Bank Sampah Mandiri, yang untuk menutup biaya operasional saja masih kesulitan.
Sri Fitriani Nur, salah satu Fasilitator Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung mengatakan, ketimbang di Wangisagara, Bank Sampah Mandiri Mandahaji mengalami kondisi geografis yang lebih menantang serta kurangnya peran pemerintah desa.
Karena sifat pekerjaan yang sukarela, kerja perawatan masyarakat seperti yang dilakukan para pengurus bank sampah, atau kader posyandu seringkali diasosiasikan sebagai kerja-kerja perempuan. Karena itu kerja yang bersifat merawat ini tidak dianggap sebagai kerja produktif, sehingga tidak mendapatkan remunerasi, atau dihargai lebih rendah dari kerja-kerja non-perawatan.
Dalam kerangka global, ekonomi perawatan memiliki lima kerangka atau yang kerap diistilahkan sebagai 5R. Pertama, pengakuan terhadap pekerjaan perawatan (recognize). Kedua, memastikan bahwa kerja perawatan dibayar dengan layak (reward). Ketiga, pengurangan beban perempuan dalam kerja perawatan serta mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender (reduce). Keempat, mendistribusikan kerja perawatan (redistribute). Kelima, pekerja perempuan dan pekerja perawatan memiliki suara dalam membuat kebijakan (represent).
Linda Dwi Eriyanti, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jember mengatakan, ada dua cara melihat fenomena kerja perawatan. Yang pertama, melihat kerja perawatan dari perspektif ekonomi. Kerja perawatan seharusnya tidak dipandang sebagai kerja reproduktif, atau kerja yang tidak menghasilkan materi sehingga dianggap tidak bernilai ekonomi.
“Dampak dari cara berpikir seperti ini akhirnya menganggap perempuan yang melakukan kerja keperawatan di rumah tidak produktif, sehingga dia perlu didorong untuk bekerja di ruang publik yang ‘lebih produktif dan bernilai ekonomi’, dengan kata lain bergaji.”
Kerja yang dianggap reproduktif seharusnya dihargai dan dihitung secara materi.
“Bayangkan kalau pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai kerja-kerja produktif, berapa kontribusi para perempuan dengan kerja perawatan itu berkontribusi terhadap pendapatan negara? pastinya sangat besar,” tulis perempuan yang juga menjadi Ketua Pusat Studi Gender Universitas Jember tersebut saat saya mintai pendapat melalui Whatsapp, Sabtu (01/02/2025).
Cara pandang yang kedua, lanjut Linda, melihat bahwa kerja keperawatan identik dengan perempuan dan “femininitasnya”.
Hal tersebut akhirnya dapat berdampak kepada pengkotakan perempuan pada sektor tertentu. Menurut Linda, perlu perubahan pola berpikir bahwa kerja perawatan itu bisa dan harus dilakukan oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan.
“Femininitas bukanlah kodrati, tetapi hanya berupa skill dan aktivitas yang bisa diajarkan dan dipraktekan semua orang. Maka seharusnya ada kebijakan yang mendorong semua orang untuk berperan secara sama dan setara di dalam rumah, maupun di ruang publik.”
“Dalam keluarga, urusan pengasuhan anak, merawat orang tua, merawat anggota keluarga yang sakit, seharusnya dilakukan bersama oleh laki-laki dan perempuan. Demikian juga profesi perawat, asisten rumah tangga, pengelola rumah jompo, dan jenis-jenis pekerjaan perawatan di ruang publik sudah harus menjadi profesi netral gender yang bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan,” tandasnya.
Ibarat gunung es, kerja perawatan merupakan kerja yang menopang sistem sosioekonomi kita. Kerja perawatan lah yang memungkinkan kerja-kerja lainnya untuk terus dan tetap berjalan. Ini mengapa ekonomi perawatan perlu diarusutamakan untuk menghargai kerja perawatan sebagaimana kerja lainnya.
Bahwa kerja perawatan tidak berbayar sama pentingnya dengan kerja berbayar, dan untuk itu perlu diakui dan didukung pada tataran institusional; dan kebijakan selayaknya kerja berbayar lainnya.[]
Redaksi10