ADVERTORIAL – Upaya pelestarian budaya di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) terus mendapat ruang baru melalui penyelenggaraan Bincang Buku Antologi Puisi Begenjoh dan Maharagu yang berlangsung di Titik Nol Tenggarong, Rabu (06/08/2025). Agenda ini digagas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kukar sebagai langkah nyata menghadirkan ruang ekspresi sastra di tengah masyarakat.
Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Kukar, Puji Utomo, menegaskan bahwa pemerintah daerah berkomitmen menjaga warisan budaya melalui kegiatan kreatif yang mampu merangkul komunitas sastra. Ia menyebut, selama ini para pelaku seni dan budaya masih menghadapi keterbatasan dalam memperoleh ruang publik yang terbuka bagi karya mereka.
“Kami ingin kegiatan seperti ini tidak hanya berhenti pada seremoni. Sastra adalah bagian dari kebudayaan, dan harus diberi wadah untuk berkembang bersama masyarakat,” ujarnya.
Kegiatan ini menghadirkan dua penulis lokal, yakni Khalis Abniswarin dan Sukardi Wahyudi, yang tidak hanya membacakan puisi, tetapi juga berbagi pengalaman kreatif dalam menulis. Diskusi semakin hangat dengan kehadiran Nala Arung dan Chai Siswandi sebagai pembedah karya, yang memberikan pandangan kritis sekaligus membuka ruang apresiasi lebih luas.
Tidak berhenti pada pembacaan puisi, acara ini dirancang untuk menumbuhkan percakapan budaya di ruang publik. Interaksi langsung antara masyarakat dengan penulis menciptakan suasana akrab, santai, sekaligus terbuka, menjadikan sastra lebih dekat dengan publik.
Disdikbud Kukar berperan aktif menyiapkan penyelenggaraan kegiatan tersebut. Namun, Puji mengakui bahwa format acara perlu dievaluasi. Menurutnya, ada kemungkinan kegiatan serupa dapat digelar rutin atau dikembangkan dengan konsep yang lebih melibatkan masyarakat luas.
“Evaluasi diperlukan agar keberlanjutan bisa terjaga. Yang terpenting, masyarakat merasakan bahwa sastra bukan sesuatu yang eksklusif, melainkan bisa hadir di ruang terbuka seperti ini,” jelasnya.
Mengusung tema puisi bertajuk sastra, Bincang Buku ini bukan sekadar ajang apresiasi bagi karya lokal, tetapi juga momentum untuk membangun kesadaran tentang pentingnya budaya sebagai identitas daerah.
Pemilihan Titik Nol Tenggarong sebagai lokasi kegiatan juga memiliki makna simbolis. Ruang publik yang biasanya dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas masyarakat kini disulap menjadi panggung alternatif bagi literasi dan kebudayaan. Harapannya, kegiatan semacam ini dapat menjadi pijakan baru agar sastra semakin dekat, mudah dijangkau, sekaligus relevan dengan kehidupan masyarakat Kukar.[]
Penulis: Hariyadi | Penyunting: Agus Riyanto