INISIATIF pembangunan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, tengah bergulir cepat. Tiga lokasi baru untuk dapur SPPG telah diusulkan—menambah tiga lokasi sebelumnya yang telah lebih dahulu diajukan. Namun, kemajuan ini diwarnai tantangan komunikasi lintas kelembagaan yang memunculkan kekhawatiran terkait tata kelola dan kesinambungan program.
Menariknya, ketiga usulan baru ini bukan berasal dari Pemerintah Kota Batu, melainkan didorong langsung oleh yayasan dari luar daerah. Suhermawan, Kepala Desa Bulukerto, mengonfirmasi bahwa pihaknya tidak menerima pemberitahuan resmi dari Pemkot Batu
Ketiga titik tersebut memiliki karakteristik kepemilikan aset yang beragam. Lokasi pertama memanfaatkan aset pribadi milik warga di RT 02 RW 01, lokasi kedua berada di lahan milik sebuah yayasan di RT 01 RW 04, sementara lokasi ketiga berdekatan dengan Kantor Desa Bulukerto dan merupakan aset desa.
Jika ditambah satu titik lagi yang berada di depan Hotel Purnama, total ada empat SPPG yang menjangkau wilayah Bulukerto. Kondisi ini menjadi refleksi penting: meskipun program gizi sangat diperlukan dan disambut baik, pelaksanaan tanpa koordinasi antarlembaga pemerintah dan desa bisa menjadi pedang bermata dua—meningkatkan risiko tumpang tindih program, legalitas lemah, hingga berpotensi konflik aset.
Inilah yang kemudian menjadi sorotan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD). Melalui program kunjungan pembelajaran pengembangan desa, DPMD berupaya mengedepankan dialog dan replikasi praktik pembangunan yang terstruktur dan inklusif. Dapur SPPG sebagai intervensi gizi seharusnya tidak hanya berbasis kemauan lembaga filantropi, tetapi harus ditopang sinergi antarlevel pemerintahan dan partisipasi warga desa.
DPMD menekankan pentingnya prinsip bottom-up, di mana pembangunan berakar dari kebutuhan riil masyarakat desa, dengan dukungan penguatan kelembagaan dan koordinasi lintas pihak.
Redaksi01-Alfian