DESA Baru, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, kini menjadi potret nyata paradoks pembangunan. Di satu sisi, desa ini menjadi pusat denyut industri ekstraktif yang menghasilkan aliran modal dari sumber daya mineral. Namun di sisi lain, Masjid Darul Taqwa—ikon spiritual sekaligus pusat aktivitas sosial warga—masih terbengkalai akibat defisit anggaran.
Masjid yang diharapkan menjadi ruang transendensi dan perekat sosial masyarakat itu telah memulai konstruksi sejak beberapa waktu lalu, tetapi progresnya berjalan lambat. Kekurangan dana menjadi kendala utama, membuat bangunan masjid belum dapat difungsikan secara penuh.
Fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan distribusi manfaat antara geliat industri yang padat modal dengan infrastruktur sosial yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Meski aktivitas industri di Desa Baru terus menggeliat, hasilnya belum sepenuhnya dirasakan oleh warga dalam bentuk fasilitas umum yang memadai.
Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) menginisiasi kunjungan pembelajaran pengembangan desa sebagai langkah strategis untuk meninjau persoalan seperti ini secara langsung. Kunjungan tersebut diharapkan dapat memicu sinergi lintas pihak—termasuk industri—untuk mempercepat pembangunan fasilitas publik.
Sejumlah tokoh masyarakat menilai, keterlibatan sektor industri dalam pembangunan sosial harus menjadi bagian integral dari komitmen tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). “Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga simbol persatuan warga. Sudah seharusnya semua pihak membantu,” ujar seorang tokoh lokal yang enggan disebutkan namanya.
Kasus Masjid Darul Taqwa menjadi refleksi bahwa pembangunan ekonomi yang inklusif tidak hanya berbicara tentang angka pertumbuhan, tetapi juga memastikan keberlanjutan sosial dan kesejahteraan spiritual masyarakat di tengah arus industrialisasi.
Redaksi01-alfian