SUBANG – Sampah rumah tangga yang menumpuk dan tidak terkelola dengan baik menjadi persoalan serius bagi warga Desa Margahayu, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang. Minimnya sistem pengelolaan sampah membuat warga terbiasa membakar sampah di halaman rumah, yang berdampak buruk pada kesehatan dan kenyamanan lingkungan.
“Sampah kalau nggak dibakar ya dibuang sembarangan. Sampah itu kalau kena angin, dikorek ayam, baunya ke mana-mana. Ada yang sampai sesak napas juga karena asapnya. Sekarang juga banyak yang kena penyakit cikungunya. Asalnya dari sampah yang numpuk jadi sarang nyamuk,” ujar Ibu Yati, Ketua RT 2 Desa Margahayu.
Kondisi semakin parah saat musim hujan tiba. Tanah yang lembap menyulitkan warga membakar sampah, sehingga tumpukan kian menggunung dan menciptakan sumber penyakit.
Menjawab permasalahan tersebut, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menghadirkan solusi inovatif lewat pembangunan insinerator sederhana bernama EcoBurn. Alat ini memungkinkan pembakaran sampah rumah tangga pada suhu tinggi dengan emisi asap yang minimal.
Hazel Minerva, mahasiswa Ilmu Tanah IPB sekaligus penanggung jawab program, menjelaskan bahwa EcoBurn dirancang sebagai proyek kolaboratif berbasis edukasi.
“Insinerator ini memang dibangun bersama warga. Kami ingin mereka memahami prinsip kerjanya, bukan hanya melihat hasilnya. Harapannya, warga bisa mereplikasi sendiri sesuai kebutuhan lingkungan masing-masing,” jelas Hazel.
Pembangunan EcoBurn dilakukan pada 18 Juli 2025 di halaman Kantor Desa Margahayu, dan dibuka untuk partisipasi masyarakat secara langsung. Warga bergantian membantu proses konstruksi, berdiskusi, dan belajar bersama mahasiswa.
“Selama satu hari penuh, warga secara bergantian saling membantu dalam pembangunan insinerator. Jadi pada dasarnya warga sudah cukup paham bagaimana konstruksi dan cara kerjanya,” ujar Daiva Andira, mahasiswa Teknologi Hasil Perairan IPB.
Kepala Desa Margahayu, H. Ma’in Permana, menyambut baik inisiatif ini dan berharap EcoBurn bisa dikembangkan ke wilayah RT maupun RW.
“Sudah bagus inovasinya. Harapan kami, insinerator ini bisa dikembangkan di masing-masing wilayah. Biar masyarakat bisa lebih tahu cara mengelola sampah rumah tangga sendiri,” ujarnya.
Hisam Muhammad Ridho, mahasiswa Teknik Mesin dan Biosistem yang juga Koordinator KKNT IPB Desa Margahayu, menyoroti pentingnya partisipasi warga dalam program ini.
“Pembuatan insinerator nggak bisa dikerjakan satu dua orang. Maka, kami libatkan banyak warga. Dari situ muncullah rasa kebersamaan—antara masyarakat, mahasiswa, dan aparat desa,” ungkapnya. “Mudah-mudahan ini bisa menumbuhkan tanggung jawab bersama untuk menjaga lingkungan desa.”
EcoBurn tidak hanya menjadi sarana pembakaran sampah, tetapi juga wahana edukasi, kolaborasi, dan penguatan semangat gotong royong di masyarakat. Inovasi ini menjadi bukti bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil, ketika ilmu pengetahuan dipadukan dengan kepedulian sosial.
Program ini juga menegaskan bahwa kegiatan KKN mahasiswa tidak berhenti pada transfer teknologi, melainkan mampu membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab warga terhadap lingkungan mereka.
Desa Margahayu kini memberi contoh bahwa di tengah krisis sampah yang masih melanda banyak daerah, harapan bisa tetap dinyalakan dari tungku semangat kolektif.
Redaksi03