DI TENGAH kondisi infrastruktur yang memprihatinkan dan tunggakan gaji aparatur desa yang belum terbayar, rombongan Kepala Desa se-Kabupaten Pesawaran justru memilih untuk “berlayar” ke luar daerah dalam agenda bertajuk kunjungan pembelajaran pengembangan desa.
Destinasi yang dipilih bukanlah desa tetangga dengan persoalan serupa, melainkan Desa Teluk Bakau, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan—sebuah wilayah pesisir yang dikenal lebih maju dalam tata kelola wisata dan ekonomi kreatif desa.
Kegiatan yang dimulai Jumat (25/07/2025) hingga Minggu (27/07/2025) ini digagas oleh Pemerintah Kabupaten melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) sebagai bagian dari program studi tiru. Namun, pulangnya tak buru-buru. Senin pun masih libur.
Sementara itu, kondisi halaman kantor Pemda dan Gedung DPRD Pesawaran dipenuhi semak liar yang tak terurus, menciptakan kesan bangunan kosong bak rumah hantu. Kontras yang mencolok justru terlihat dari aktivitas para pejabat desa yang memilih meninggalkan “rumahnya” untuk menimba ilmu jauh dari tanah sendiri.
Kegiatan studi tiru ini menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama aktivis pemuda dan LSM lokal yang menyebut langkah ini sebagai bentuk abuse of policy—di mana dalih pembelajaran justru digunakan untuk membenarkan penggunaan anggaran di tengah krisis fiskal lokal.
Padahal, prinsip pemberdayaan masyarakat semestinya dimulai dari identifikasi kebutuhan riil desa, bukan meniru sesuatu yang tak kontekstual. Apalagi jika dilakukan di tengah banyaknya kewajiban desa yang belum terpenuhi.Kini, publik menanti jawaban dari DPMD dan Bupati Pesawaran atas kontroversi yang mencuat. Sebab di balik istilah “kunjungan pembelajaran”, publik tak ingin dibohongi oleh praktik yang lebih mirip rekreasi pejabat dengan dana rakyat.
Redaksi01-Alfian