PEMERINTAH Kabupaten melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) menginisiasi sebuah kunjungan pembelajaran antar desa untuk mempercepat pengembangan potensi lokal. Inisiatif ini dinilai sebagai langkah progresif dalam membangun kemandirian desa melalui pertukaran pengetahuan, praktik baik, dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.
Namun, di tengah semangat otonomi desa yang digaungkan pemerintah daerah, muncul kritik tajam terhadap kebijakan pusat terkait pengelolaan dana desa.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, menilai adanya intervensi dari pemerintah pusat dalam penggunaan dana desa untuk menambal angsuran pinjaman Koperasi Desa atau Kelurahan Merah Putih sebagai pelanggaran serius terhadap otoritas desa. Menurutnya, kebijakan yang memperbolehkan penggunaan hingga 30 persen dana desa sebagai jaminan pinjaman telah keluar dari semangat Undang-Undang Desa.
Ia menyebut, pemaksaan penggunaan dana desa tanpa musyawarah adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan desa yang telah dijamin dalam undang-undang.
Lebih lanjut, Suroto mengingatkan bahwa tindakan tersebut bukan hanya cacat prosedural, tetapi berpotensi menciptakan pola pemerintahan otoriter.
Polemik ini muncul di tengah upaya pemerintah daerah yang tengah memperkuat kapasitas desa melalui kunjungan pembelajaran dan kolaborasi antarwilayah. Ironisnya, justru ketika akar rumput didorong untuk tumbuh mandiri, intervensi pusat kembali menyeruak.
DPMD menyatakan akan terus memperjuangkan model pembangunan desa yang partisipatif dan menempatkan masyarakat sebagai aktor utama pembangunan. “Kunjungan pembelajaran ini bukan hanya ajang studi banding, melainkan medium untuk memperkuat identitas desa sebagai pemilik sah pembangunan,” ujar seorang pejabat DPMD yang enggan disebutkan namanya.
Redaksi01-Alfian