BANYUWANGI – Tradisi tahunan Bersih Desa kembali dilaksanakan masyarakat Desa Kedungwungu, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi. Kegiatan bertajuk “Resik Deso, Resik Ati: Lestari Tradisi, Lestari Bumi” ini digelar selama tiga hari, mulai 10 hingga 12 Juli 2025, bertepatan dengan masuknya bulan Suro (Muharram) dalam penanggalan Jawa dan Hijriyah.
Tradisi Bersih Desa merupakan bentuk kearifan lokal yang masih dijaga dan dilestarikan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan kepada leluhur, serta upaya menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan nilai spiritualitas.
Rangkaian kegiatan dimulai dengan kerja bakti massal pada 10 Juli, diikuti oleh seluruh warga dari berbagai kalangan. Mereka membersihkan lingkungan desa, mulai dari jalan utama, balai desa, tempat ibadah, hingga makam leluhur. Pemuda karang taruna, ibu-ibu PKK, tokoh masyarakat, dan perangkat desa turut aktif berpartisipasi.
Hari kedua diisi dengan selamatan desa dan doa bersama di balai desa. Acara tersebut dihadiri oleh perangkat desa, tokoh adat, serta seluruh elemen masyarakat, termasuk umat Hindu di Desa Kedungwungu yang menggelar doa bersama secara khusus. Prosesi ini ditutup dengan pemotongan tumpeng sebagai simbol rasa syukur dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Puncak acara berlangsung pada 12 Juli dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, disusul prosesi ruwatan di pagi harinya. Ruwatan merupakan upacara adat yang diyakini dapat menolak bala dan membersihkan nasib buruk seseorang. Biasanya ditujukan kepada mereka yang dianggap “sukerta”, seperti anak tunggal atau anak dengan urutan lahir tertentu. Tradisi ini diikuti oleh masyarakat dari berbagai dusun sebagai lambang kebersamaan dan solidaritas sosial.
Kepala Desa Kedungwungu, Sugiyono, menegaskan pentingnya melestarikan tradisi ini di tengah kemajuan zaman. “Melalui kegiatan ini, kami ingin menanamkan nilai-nilai budaya dan gotong royong kepada generasi muda. Bersih desa bukan hanya tentang membersihkan lingkungan, tetapi juga membersihkan hati dan mempererat hubungan sosial di masyarakat,” ungkapnya.
Antusiasme warga terlihat sangat tinggi. Bahkan, banyak perantau yang pulang kampung demi mengikuti tradisi ini. Menurut Sugiyono, modernitas memang tak bisa dihindari, namun masyarakat harus tetap berpijak pada nilai-nilai budaya. “Modernitas adalah satu tantangan yang tidak bisa kita hindari. Tapi dalam menghadapi modernitas kita terus berpijak pada nilai-nilai luhur budaya kita,” paparnya.
Ia juga menekankan pentingnya menjadikan budaya sebagai dasar dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). “Karena tidak jarang modernitas seringkali membuat lupa tentang nilai-nilai luhur budaya,” ujarnya.
Sementara itu, Camat Tegaldlimo, Probo Nugroho, menyatakan dukungannya terhadap desa-desa yang konsisten melestarikan budaya. Ia juga menegaskan bahwa pihak kecamatan akan mengawal pengawasan dana desa agar kebijakan desa berpihak pada pelestarian budaya.
“Kecamatan akan dukung penuh,” pungkasnya.
Tradisi “Resik Deso, Resik Ati” di Desa Kedungwungu menjadi bukti bahwa kearifan lokal dapat menjadi fondasi yang kuat dalam menjaga kelestarian alam dan identitas budaya, sekaligus memperkuat solidaritas masyarakat di tengah arus globalisasi.
Redaksi03