KUTAI KARTANEGARA – Ketegangan antara warga Kecamatan Muara Muntai dengan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Regional IV Samarinda memuncak menyusul insiden yang menyeret nama Kepala Desa Muara Muntai Ilir, Arifadin Nur, pada Minggu (8/6/2025). Insiden itu terjadi di tengah memanasnya penolakan warga terhadap rencana operasional layanan pemanduan dan penundaan kapal yang akan diberlakukan di wilayah perairan setempat.
Viralnya video berdurasi pendek di media sosial, yang diduga memperlihatkan tindakan kekerasan terhadap kepala desa serta kerusakan fasilitas publik, menimbulkan gelombang reaksi dari berbagai kalangan. Video tersebut bahkan memantik kecaman publik dan mendorong Pelindo memberikan klarifikasi resmi.
Dalam konferensi pers yang digelar Kamis (12/6/2025), General Manager Pelindo Regional IV Samarinda, Capt. Suparman, menyatakan bahwa pelaksanaan layanan pemanduan dan penundaan kapal di perairan Muara Muntai memiliki dasar hukum yang sah. Ia mengacu pada Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor KP-DJPL 225 Tahun 2025 serta Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 244 Tahun 2021, yang menetapkan kawasan wajib pandu mulai dari Pelabuhan Samarinda hingga Muara Muntai. “Wilayah wajib pandu ini mencakup dari Pelabuhan Samarinda hingga Muara Muntai,” terang Suparman. Ia juga menyampaikan bahwa Pelindo telah menggelar sosialisasi kepada para pemangku kepentingan pada 22 Mei 2025. Dari hasil pertemuan tersebut, disepakati bahwa operasional layanan akan dimulai pada 9 Juni 2025.
Namun sehari menjelang pelaksanaan, Pelindo menerima informasi terkait potensi penolakan masyarakat. “Demi menjaga keselamatan personel, kami tarik tim kembali ke Samarinda dan menunda kehadiran fisik hingga situasi lebih kondusif,” tegasnya.
Sementara itu, Forum Masyarakat Muara Muntai—kelompok yang mengoordinasi aksi protes—membantah tuduhan yang menyebutkan bahwa massa aksi berasal dari luar desa. Mereka juga menyayangkan pernyataan Arifadin Nur yang dinilai menyudutkan warga sendiri. “Kami sangat menyayangkan dan mengecam tudingan Saudara Arifadin Nur yang menyebut massa aksi sebagai preman dari luar,” tulis Forum dalam pernyataan resminya.
Mereka menegaskan bahwa aksi berlangsung di Stasiun Pandu milik Pelindo, bukan di kediaman pribadi kepala desa, dan mempertanyakan kehadiran Arifadin di lokasi tersebut. Menurut mereka, kehadiran kepala desa di tengah aksi justru memicu eskalasi konflik.
Pihak kepolisian saat ini masih menangani perkara tersebut. Kapolres Kutai Kartanegara, AKBP Dody Surya Putra, melalui Kasat Reskrim AKP Ecky Widi Prawira, menyatakan bahwa proses penyelidikan terus berlanjut. “Sudah empat orang kami periksa dalam laporan pertama, dan enam saksi dari pelapor kedua. Penanganan masih berjalan sesuai prosedur,” ujar Ecky.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari kepolisian terkait penetapan tersangka ataupun hasil akhir dari penyelidikan. Situasi di lapangan dilaporkan mulai kondusif, meski tensi antara warga dan pihak perusahaan masih memerlukan perhatian khusus dari semua pihak. []
Redaksi10