BANJARNEGARA — Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes) dirancang untuk memiliki enam unit usaha wajib, yakni gerai sembako, gerai obat murah, klinik desa, logistik, pergudangan, dan simpan pinjam. Namun, khusus untuk unit simpan pinjam, sejumlah kalangan menyarankan agar pelaksanaannya dimulai pada tahun keempat atau kelima. Pertimbangannya, pada fase tersebut keanggotaan koperasi sudah kuat, modal sendiri telah terbentuk, dan dana cadangan sudah tersedia.
Meski terlihat mudah karena hanya memerlukan administrasi dan sedikit staf, unit simpan pinjam kerap menjadi sumber masalah serius jika dikelola secara tidak hati-hati. Banyak koperasi bermasalah justru berasal dari Koperasi Simpan Pinjam (KSP) atau Koperasi Serba Usaha (KSU) yang memiliki Unit Simpan Pinjam (USP). Masalah umum mencakup kegagalan koperasi mengembalikan dana anggota tepat waktu serta tingginya kredit macet (non-performing loan).
Tata kelola yang prudent menjadi syarat utama. Untuk itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 8 Tahun 2023 tentang Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi. Peraturan ini menetapkan antara lain modal minimum Rp500 juta untuk koperasi level kabupaten, serta kewajiban memiliki izin operasional dari instansi yang berwenang. Pengurus koperasi juga harus lulus uji kepatutan dan memiliki sertifikasi kompetensi. Selain itu, pengurus tidak boleh memiliki hubungan semenda sampai derajat pertama dengan pengawas dan pengelola.
Sementara Kopdes didesain sebagai koperasi serba usaha, pengurusnya dituntut piawai dalam mengelola unit usaha lintas sektor—lima sektor riil dan satu sektor keuangan. Hal ini menimbulkan tantangan pembelajaran berlapis. Karenanya, rekayasa kelembagaan dibutuhkan agar layanan keuangan tetap tersedia tanpa membebani Kopdes.
Berikut tiga model yang direkomendasikan:
1. Model KSP Bersama
Beberapa Kopdes dalam satu wilayah membentuk satu KSP primer melalui nota kesepahaman (MoU). Setiap Kopdes mengirim satu perwakilan pengurus untuk mendirikan KSP tersebut. Setelah terbentuk, manajemen profesional dibentuk dan KSP menjalin kerja sama dengan Kopdes dalam tiga hal: keanggotaan (double membership), pendanaan (penempatan dana secara kolektif), dan layanan (penyediaan tempat pelayanan dan kesepakatan bunga pinjaman).
2. Model Kerja Sama dengan KSP Eksisting
Kopdes tidak perlu membentuk koperasi baru, melainkan bekerja sama dengan KSP yang sudah ada di wilayahnya. Skema kerja sama mencakup keanggotaan, pendanaan, dan layanan. Tantangannya terletak pada penyesuaian layanan bagi anggota lama dan anggota baru dari Kopdes. Namun, model ini efisien dan cepat dijalankan jika KSP yang dipilih telah mapan.
3. Model Konsorsium Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Kopdes mendirikan satu LKM berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan modal minimal Rp500 juta, yang dihimpun sebagai saham dari masing-masing Kopdes. Karena pemiliknya adalah Kopdes, tidak diperlukan perjanjian kerja sama tambahan. LKM dapat melayani anggota Kopdes dan masyarakat umum, serta berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan dukungan teknologi digital, transparansi dan akuntabilitas lebih mudah dijaga.
Ketiga model ini memungkinkan Kopdes tetap fokus pada pengembangan unit usaha sektor riil tanpa mengabaikan kebutuhan layanan keuangan warganya. Selain lebih aman secara operasional dan finansial, model ini memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan penciptaan lapangan kerja baru. Pemerintah juga lebih mudah melakukan pengawasan dengan entitas yang lebih sedikit namun lebih kuat secara kelembagaan.
Dengan pendekatan ini, prinsip koperasi tetap dijaga: demokratis, partisipatif, dan memenuhi prinsip “anggota adalah pemilik sekaligus pengguna.” Model-model tersebut juga sesuai dengan regulasi yang berlaku tanpa perlu relaksasi aturan yang justru bisa menurunkan kepastian hukum.
Penyediaan layanan keuangan yang terjangkau di desa tidak harus dilakukan dengan membentuk USP di tiap Kopdes. Masih banyak cara lain yang bisa ditempuh tanpa keluar dari koridor hukum dan prinsip koperasi yang sehat. []
Redaksi10