Bener Meriah – Dataran Tinggi Gayo, Provinsi Aceh memiliki popularitas di mata dunia melalui kopi arabikanya. Secara administratif, dataran tinggi Gayo meliputi wilayah Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues.
Letak geografis Dataran Tinggi Gayo yang berbukit-bukit menjadi kawasan subur untuk berbagai komoditas sejak dahulu. Salah satu komoditas utamanya adalah perkebunan kopi yang berkembang sekitar tahun 1908.
Di balik kesuksesan Aceh dalam membranding komoditas Kopi Gayo, terdapat petani kopi perempuan yang berdedikasi untuk menghasilkan biji kopi berkualitas. Mereka memiliki peran utama sebagai penggerak perekonomian nasional.
Salah satunya adalah persatuan petani kopi perempuan di Kabupaten Bener Meriah. Para petani kopi yang berasal dari desa diperkuat dengan dibangunnya organisasi profesional, yang kemudian dinamai sebagai Koperasi Perempuan Kopi Gayo atau disingkat Kokowagayo.
Kokowagayo didirikan pada 2014. Sejak berdirinya koperasi ini, kekuatan kolektif perempuan petani kopi di Bener Meriah semakin menuju pada titik cerah. Keberadaan Kokowagayo efektif pada perkembangan kopi Gayo. Tak hanya dari aspek produktivitas tapi juga nilai pemberdayaan dan penguatan bagi para perempuan.
“Kami semua perempuan, dan kami memutuskan untuk punya ruang sendiri setelah merasa suara kami tidak didengar di koperasi yang campur aduk. Sebelumnya kami hanya datang, duduk, dan diam. Kini, kami memutuskan untuk mendirikan koperasi yang benar-benar memberdayakan perempuan,” tutur Ketua Kokowagayo, Rizkani Melati, Senin (6/1/25).
Berawal dari 21 perempuan yang bergabung, kini anggota Kokowagayo telah mencapai 544 orang. Anggota Kokowagayo berasal dari desa-desa di Kabupaten Bener Meriah seperti Desa Tunyang, Desa Ronga dan Kampung Panji Mulia Satu. Seluruh anggota koperasi ini mengelola total lahan sebanyak 342 hektar (ha).
Kendati demikian, untuk menjadi petani kopi bagi perempuan Gayo tidak selalu mulus. Mereka harus berhadapan dengan tradisi yang masih mengikat mereka. Rizkani menyampaikan, sebelum menjadi petani kopi, perempuan di Gayo harus berembuk terlebih dahulu dengan suami hingga kepala desa.
“Yang paling sulit adalah mendapatkan izin dari suami. Setiap perempuan yang bergabung harus mendapat tanda tangan suaminya dan kepala desa. Banyak yang khawatir jika terjadi perceraian, kebun mereka akan diambil. Kami menjelaskan bahwa yang kami butuhkan hanya izin kelola,” tutur Rizkani.
Tantangan Ekspor dan Perubahan Iklim
Salah satu capaian besar Kokowagayo adalah berhasil mengekspor kopi ke berbagai negara, termasuk Amerika, Korea, dan Australia. Pada 2015 bahkan koperasi ini berhasil mengekspor 15 kontainer kopi.
“Kami hanya fokus pada ekspor. Kopi Gayo sudah dikenal di dunia internasional, dan kami bangga bisa mengirimkan kopi yang berkualitas tinggi,” kata Rizkani.
Ia mengatakan, Kokowagayo saat ini masih menjadi satu-satunya koperasi perempuan yang berada di Asia Tenggara dan masuk dalam jaringan organisasi petani kopi wanita internasional di Peru, Amerika Selatan, atau Organic Product Trading Company (OPTCO) Cafe Femenino.
Menurut Rizkani, aset yang dimiliki Kokowagayo kini mencapai miliaran rupiah. Dalam memproduksi kopinya, Kokowagayo mampu menghasilkan 450.000 ton kopi per tahun. Untuk pasar ekspor, Kokowagayo mampu mengirim sekitar 20 kontainer atau setara 422.400 ton.
Rencana Kokowagayo ke depan, koperasi ingin membuat produk turunan dari kopi seperti kue untuk pasar dalam negeri. Lalu mendirikan supermarket untuk anggota petani maupun masyarakat di desa binaan agar memudahkan dalam pemasaran produknya. Kokowagayo juga ingin merambah ke lini komoditas usaha lainnya seperti alpukat yang saat ini untuk produksinya sudah bekerja sama dengan PUR Projek.
Kokowagayo saat ini bekerjasama dengan Root Capital untuk digitalisasi keuangan yang sampai saat ini masih digunakan oleh koperasi untuk manajemen keuangan.
Perjalanan Kokowagayo tidak tanpa tantangan, salah satunya adalah perubahan iklim yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas hasil panen kopi.
“Beberapa tahun terakhir, suhu yang semakin panas membuat masa panen kopi menjadi tidak menentu. Kopi yang seharusnya matang, terpaksa dipetik sebelum waktunya karena suhu yang ekstrem. Ini mempengaruhi kualitasnya,” kata Rizkani.
Tak hanya itu. Persaingan dengan perusahaan besar yang memiliki cukup modal juga menjadi tantangan bagi Kokowagayo.
“Kami harus menjaga komitmen dengan petani, memastikan mereka mendapatkan harga yang layak, namun banyak eksportir lain yang membeli dengan harga murah, membuat kami terpaksa membeli kopi dengan harga yang lebih tinggi untuk menjaga kualitas dan kepercayaan,” jelasnya.
Kokowagayo tetap optimis dengan banyaknya tantangan dihadapi. Mereka terus menjaga kualitas dengan sistem sortir manual yang ketat, memastikan hanya kopi dengan kualitas terbaik yang sampai ke konsumen.
“Kami tidak pernah mengirimkan kopi yang lebih buruk dari sampel. Kami jaga kualitas dengan ketat, agar pembeli tidak kecewa,” ujar Rizkani.
Menjaga Kesimbangan Antara Tradisi dan Modernitas
Bagi banyak perempuan di desa-desa Bener Meriah, menjadi bagian dari Kokowagayo berarti memiliki kesempatan untuk mengelola kebun kopi mereka dengan cara yang lebih terstruktur. Tidak hanya itu, mereka juga diberdayakan dengan pelatihan, mulai dari pemangkasan pohon kopi, pembuatan kompos, hingga cara mengatur keuangan yang baik.
“Kami melatih mereka sesuai dengan kebutuhan masing-masing desa. Kami juga memastikan mereka mendapatkan harga jual yang lebih tinggi daripada pasar lokal,” ucap Rizkani, yang juga aktif dalam mengorganisasi pelatihan-pelatihan praktis bagi para petani.
Salah satu inovasi yang dihadirkan Kokowagayo adalah sistem pertanian tumpang sari, yang mana para petani tidak hanya menanam kopi, tetapi juga tanaman lain seperti cabai, jahe, pisang, hingga mahoni. Ini menjadi strategi untuk meningkatkan pendapatan petani, serta menjaga kesuburan tanah.
“Dengan tanam tumpang sari, kami bisa menambah penghasilan tanpa harus mengorbankan kualitas kopi. Kami juga mengajarkan mereka cara merawat kebun dengan cara yang ramah lingkungan,” jelasnya.
Di sisi lain, untuk menunjang kesejahteraan petani, Kokowagayo juga mendirikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di setiap desa. Tujuannya adalah agar kesejahteraan anak petani masih terjamin.
“Kami tahu, saat perempuan pergi ke kebun, mereka khawatir anak-anak mereka tidak terurus. Dengan adanya PAUD, mereka bisa bekerja dengan tenang,” kata Rizkani.
Pembelajaran Berkelanjutan dan Pemenuhan Fasilitas Kesehatan
Selain melakukan pendampingan untuk meningkatkan kualitas hasil pertanian, Kokowagayo juga mengadakan pelatihan-pelatihan baru bagi anggota mereka, seperti pelatihan roasting kopi dan cupping (uji cita rasa kopi).
“Kami ingin para petani tidak hanya tahu cara menanam kopi yang baik, tetapi juga bagaimana memprosesnya dengan benar. Bahkan, kami membuka kesempatan untuk pelatihan bagi mereka yang ingin belajar tentang bisnis kopi,” ungkap Rizkani.
Tak hanya berfokus pada pengembangan ekonomi, Kokowagayo juga aktif dalam program-program sosial. Salah satunya adalah program pemeriksaan kesehatan bagi anggota dan keluarga, termasuk pemeriksaan kanker serviks dan gigi.
“Kami ingin perempuan tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga mental dan finansial,” ujar Rizkani.
Kokowagayo telah menjadi contoh sukses koperasi perempuan yang mampu menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di tengah ketatnya persaingan global, koperasi ini terus menjaga komitmennya pada kualitas dan keberlanjutan, sambil tetap memperjuangkan pemberdayaan perempuan di Aceh.
Di tengah tantangan zaman, Kokowagayo tidak hanya mengubah cara petani kopi bekerja, tetapi juga memberi mereka ruang untuk bermimpi lebih besar, bersama-sama membangun masa depan yang lebih cerah dan lebih berdaya.
“Ini adalah perjalanan panjang. Kami berawal dari keinginan untuk punya ruang sendiri, dan sekarang kami sudah go internasional. Semua ini berkat kerjasama dan semangat perempuan-perempuan yang ingin lebih dari sekadar bertani kopi,” tutup Rizkani.[]
Redaksi10