Dana Desa Rp 609 Triliun: Mengubah Wajah Desa Indonesia Sejak 2015

JAKARTA – Tiga perempat dekade yang lalu, pemerintah Indonesia memperkenalkan dana desa sebagai upaya proaktif untuk memajukan desa-desa di seluruh negeri. Dengan tujuan mengurangi kesenjangan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan, dana desa diharapkan dapat memberdayakan masyarakat lokal dan meningkatkan infrastruktur serta perekonomian di tingkat desa.

Desa yang sebelumnya lebih banyak dijadikan objek lokasi proyek pemerintah dari pusat berubah menjadi subjek yang mengatur sendiri kebutuhan pembangunan mereka. Sebenarnya sebelum ada dana desa, berbagai anggaran datang ke desa namun dalam bentuk program sehingga mereka hanya dilibatkan sebagai lokasi proyek pemerintah dan bertindak sebagai fasilitator program tersebut. Sekarang, desa dapat rembuk bersama guna menentukan penggunaan dana yang sudah terdistribusi.

Program ini tentu sangat positif karena pembangunan bisa lebih terarah sesuai dengan kebutuhan masing-masing desa. Berdasarkan catatan Kantor Staf Presiden, sejak 2015 hingga 2024, sebanyak Rp 609,48 triliun anggaran pemerintah dialokasikan untuk dana desa. Jumlahnya terus meningkat dari Rp 20,7 triliun pada 2015 menjadi Rp 47 triliun pada 2016. Kemudian, pada 2024 menjadi Rp 71 triliun, yang akan disalurkan ke 75.265 desa dengan masing mendapat Rp 943 juta.

Bahkan, Prabowo dalam debat capres mewacanakan akan menaikkan anggaran dana desa menjadi Rp 5 miliar per desa. Selama ini dana desa banyak digunakan untuk membangun infrastruktur serta sarana dan prasarana desa, seperti jalan, jembatan, pasar, embung, irigasi dan lain-lain. Pemerintah mengklaim bahwa dana desa turut membantu merealisasikan 350 ribu kilometer jalan desa yang bermanfaat memfasilitasi mobilitas masyarakat dan konektivitas desa dan kota (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi/PDTT, 2024).

Tidak hanya infrastruktur, dana desa juga banyak digunakan terkait dengan penyediaan layanan kesehatan, air bersih, sarana MCK dan juga layanan pendidikan. Kementerian Desa dan PDTT juga menilai adanya perubahan desa ke arah yang semakin baik. Hal itu didasarkan pada Indeks Desa Membangun (IDM) 2024 yang menunjukkan jumlah desa berstatus mandiri meningkat selama periode 2019-2024, yakni dari 840 desa (1,22 persen) pada 2019 menjadi 15.422 desa (26,76 persen).

Pada periode yang sama desa yang berstatus maju pun meningkat, yaitu dari 8.647 desa menjadi 23.024 desa. Sedangkan desa yang berstatus tertinggal jumlahnya menurun, yaitu dari 17.626 desa menjadi 3.053 desa. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa perjalanan 10 tahun dana desa juga diwarnai dengan berbagai tantangan.

Masalah seperti korupsi, manajemen yang kurang efisien, ketimpangan dalam distribusi dana, dan kurangnya kapasitas teknis di tingkat lokal menjadi rintangan yang perlu diatasi. Hal itu menjadi tantangan yang perlu dibenahi secara konsisten. Terlebih lagi, masa jabatan kepala desa diperpanjang menjadi 9 tahun sehingga ada kemungkinan permasalahan tersebut semakin memburuk jika tanpa pendampingan dari pemerintah.
Kasus Korupsi Naik

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan, sejak UU Desa diterbitkan pada 2014, jumlah kasus korupsi yang terjadi di desa terus naik. Hal ini mulai 17 kasus pada 2016 yang lantas melonjak menjadi 155 kasus pada 2022. Adapun dari 155 kasus, mayoritas atau 133 kasus berkaitan dengan dana desa, sedangkan 22 kasus lainnya terkait penerimaan desa.

ICW juga menunjukkan kepala desa sebagai salah satu aktor yang paling banyak terjerat kasus korupsi setelah pegawai pemerintahan daerah dan swasta. Dari total 1.259 pelaku korupsi sepanjang 2022, sebanyak 319 orang di antaranya berprofesi sebagai kepala desa.

Selain itu, pengelolaan dana desa juga kurang optimal karena keterbatasan atau ketidaksiapan kepala desa dan perangkatnya dalam mengelola dana desa yang besar. Hal itu berkaitan erat dengan undang-undang desa yang hanya mensyaratkan calon kepala desa minimal berpendidikan SMP sehingga banyak yang kurang kompeten dalam teknis pengelolaan keuangan.

Paradigma pembangunan di desa juga belum jelas yang membuat pejabat desa minim kreativitas dalam membuat program berkelanjutan. Banyak desa yang melakukan “betonisasi”, di mana segala sesuatu dianggap bagus jika sudah dibeton, sehingga jalan umum, jalan setapak, lapangan, dan area umum lainnya semuanya dibeton. Akibatnya, desa mulai menyerupai daerah perkotaan, dengan tanah yang susah menyerap air karena tertutup beton. Ciri khas pedesaan yang asri dengan alamnya perlahan akan menghadapi masalah yang sama dengan kota.

Membekali Masyarakat

Pemerintah perlu membekali masyarakat setempat terkait pengelolaan anggaran dana desa, tidak hanya pejabat desa, agar bisa turut mengawasi dan memberikan ide kreatif memajukan desa. Pemuda desa yang memiliki kompetensi juga perlu diberikan ruang mewarnai aktivitas di desa sehingga talenta desa tidak pergi ke kota besar atau daerah lainnya. Pendekatan ini penting untuk memastikan bahwa desa memiliki daya tarik sosial yang setara dengan perkotaan, sehingga ekonomi dapat tumbuh secara merata dan berkelanjutan.

Selain itu, perlu adanya sustainability prioritas penggunaan dana desa dari tahun ke tahun sehingga paradigma pembangunannya jelas. Misal pada awalnya banyak dialokasikan pada pembangunan infrastruktur kemudian beranjak pada pembangunan sumber daya manusia, pendidikan, dan kesehatan.

Dana desa juga perlu disinkronkan dengan kebijakan pembangunan nasional yang lebih luas, seperti penguatan konektivitas antara desa dan kota serta peningkatan akses pasar bagi produk-produk lokal dapat menjadi landasan untuk pembangunan berkelanjutan di masa depan. Program Makan Bergizi Gratis, misalnya, yang akan diberlakukan oleh presiden terpilih, Prabowo-Gibran. Salah satu komponen penting dari program ini adalah penyediaan susu gratis, di mana pemerintah berencana mengimpor 2,5 juta sapi perah untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Di sinilah desa perlu menyiapkan rantai pasok ketersediaan sapi perah agar masyarakat dapat merasakan manfaat dari efek turunan program tersebut. Melibatkan desa dalam program ini akan mengembangkan sektor peternakan, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan pendapatan peternak lokal.

Terakhir, untuk mengantisipasi dana desa yang rentan untuk dikorupsi, pemerintah perlu mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan desa dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai anggaran desa serta hak dan kewajiban mereka. Pemerintah juga perlu mempermudah akses informasi karena sering masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk melakukan pengawasan.

Kinerja lembaga pengawas, seperti inspektorat kabupaten/ kota, BPKP, dan BPK belum optimal dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan audit pengelolaan anggaran desa. Hal itu berkaitan erat dengan keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran lembaga di dalam mengawasi seluruh desa di Indonesia yang mencapai 75.436 desa.

Pada akhirnya kita harus memberikan evaluasi dan proyeksi terkait pengelolaan dana desa yang berkelanjutan. Dengan menyoroti keberhasilan yang telah dicapai, mengidentifikasi kelemahan yang perlu diperbaiki, dan merumuskan strategi untuk masa depan yang lebih baik, kita dapat memastikan bahwa dana desa tetap menjadi instrumen yang efektif dalam memajukan desa-desa Indonesia ke arah yang lebih sejahtera dan berkelanjutan. []

Redaksi08

About Rara

Check Also

Desa Mulawarman Siap Go Global: Meningkatkan Ekspor Produk Lokal ke Pasar Internasional

KUTAI KARTANEGARA – Desa Mulawarman adalah salah satu desa di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, …

Transparansi Dana RT di Kelurahan Melayu Jadi Kunci Pembangunan Inklusif

TENGGARONG – Kelurahan Melayu, yang merupakan salah satu kelurahan dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) terbanyak …

Desa Sarinadi: Empat Kali Panen Setahun, Model Keberhasilan Pertanian Kota Bangun Darat

Kutai Kartanegara – Desa Sarinadi, Kecamatan Kota Bangun Darat, Kabupaten Kutai Kartanegara, mencuri perhatian sebagai …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *