KETEGANGAN yang terjadi di Balai Desa Banyutengah, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, mengungkap persoalan mendasar dalam tata kelola layanan darurat di tingkat desa. Aksi protes puluhan warga terhadap Kepala Desa Fadloli menyusul insiden kematian warga bernama Fatkul Hadi, menjadi sinyal keras bagi perlunya evaluasi menyeluruh atas sistem operasional mobil siaga desa.
Insiden bermula saat keluarga korban tidak mendapatkan akses cepat terhadap mobil siaga desa dalam kondisi darurat medis. Tidak adanya kejelasan siapa yang memegang kunci mobil menjadi pemicu utama kemarahan warga. Akibatnya, korban harus diantar menggunakan kendaraan tosa milik warga ke puskesmas dan kemudian meninggal dunia di RSUD Ibnu Sina.
Protes warga yang terjadi sejak Minggu (29/06/2025) memuncak dengan pencopotan dua ban belakang mobil siaga sebagai bentuk kekecewaan. Aksi berlanjut pada Senin (30/06/2025) dalam bentuk audiensi dengan pemerintah desa. Dalam pertemuan tersebut, warga mendesak kepala desa untuk mencabut aduan hukum atas aksi pencopotan ban, yang sebelumnya dilaporkan.
Namun, di balik konflik antara warga dan pemerintah desa, tragedi ini menyentil permasalahan yang lebih struktural: lemahnya manajemen layanan publik berbasis kebutuhan warga. Mobil siaga yang seharusnya menjadi alat penolong justru menjadi sumber konflik akibat buruknya komunikasi, minimnya regulasi operasional, dan kurangnya akuntabilitas aparatur desa.
Alih-alih hanya merespons tuntutan atau menyelesaikan insiden secara administratif, peristiwa ini semestinya menjadi momentum refleksi bagi seluruh desa di Indonesia. Aset desa seperti mobil siaga harus dikelola dengan sistem yang jelas, termasuk personel penanggung jawab, jadwal siaga, serta SOP penggunaan darurat.
Kepercayaan publik terhadap pemerintahan desa tidak dibangun dari proyek-proyek fisik semata, tetapi dari respons cepat dan tanggap terhadap situasi genting yang menyangkut nyawa warganya. Tragedi Banyutengah adalah peringatan, bahwa lemahnya sistem bisa berakibat fatal.
Redaksi01-Alfian