PEMERINTAH Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) tengah mengintensifkan pelatihan dan bimbingan teknis (Bimtek) bagi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) guna meningkatkan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan desa. Namun, penguatan fungsi BPD ini mengundang sorotan lebih dalam soal arah pembangunan desa serta struktur pengelolaan yang melingkupinya.
Wakil Bupati PPU, Abdul Waris Muin, menegaskan bahwa pengawasan terhadap penggunaan dana desa menjadi hal mutlak agar pembangunan benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat. Namun, sejumlah kalangan menilai bahwa lemahnya pengawasan bukanlah akar masalah utama, melainkan bagian dari struktur sistemis yang dibentuk dalam bingkai pembangunan desa saat ini.
Sebagaimana diketahui, konsep pembangunan desa dewasa ini sangat erat dengan penerapan agenda global Sustainable Development Goals (SDGs) yang diadaptasi ke dalam kebijakan nasional, termasuk pembentukan Kementerian Desa dan pencairan dana desa. Pola pembangunan yang bersandar pada pendekatan kapitalisme sekuler dianggap mengubah orientasi pembangunan menjadi proyek ekonomi yang berjarak dari realitas kebutuhan rakyat desa.
Alih-alih memandirikan desa, pendekatan ini justru mendorong desa untuk menggali potensi demi lepas dari bantuan pusat, namun tetap diarahkan oleh standar global dan pembiayaan luar negeri. Pelatihan dan bimtek yang semestinya menjadi tanggung jawab negara pun tak jarang dibebankan ke desa, baik melalui alokasi dana sendiri maupun kerja sama eksternal, yang berpotensi melemahkan independensi desa.
Bagi sebagian pemerhati pembangunan desa, kemandirian yang sejati hanya mungkin dicapai melalui perubahan sistem tata kelola secara menyeluruh, yang memutus ketergantungan terhadap utang luar negeri dan investasi asing. Desa harus ditempatkan sebagai bagian integral dari struktur negara yang wajib dijamin kebutuhan dasarnya oleh pusat — dari sandang, pangan, papan, hingga kesehatan dan pendidikan.
Dalam model ini, negara bertanggung jawab penuh menyediakan subsidi alat produksi pertanian, distribusi lahan untuk warga tak bertanah, serta memastikan rantai pasok pangan berjalan stabil tanpa harus mengorbankan lahan pertanian demi pariwisata atau proyek jangka pendek.
Lebih dari itu, pengawasan pembangunan desa tidak semata diserahkan kepada BPD, tetapi menjadi bagian dari sistem checks and balances nasional yang ditopang oleh partai politik, Majelis Umat, hingga Mahkamah Mazhalim sebagai wadah koreksi publik terhadap penguasa.
Langkah Pemkab PPU dalam memperkuat fungsi BPD patut diapresiasi, namun momentum ini juga seharusnya dijadikan ruang reflektif untuk meninjau ulang arah kebijakan pembangunan desa. Sudah saatnya desa tak sekadar menjadi objek kebijakan, melainkan subjek utama dalam menata masa depannya sendiri — bukan menurut agenda global, tetapi berdasarkan kebutuhan riil rakyat.
Redaksi01-Alfian