JEPARA – Puluhan warga dari Dukuh Toplek dan Dukuh Pendem, Desa Sumberrejo, Kecamatan Donorojo, bersama sejumlah aktivis lingkungan, melakukan kegiatan tilik sumber mata air di kawasan Pegunungan Mrico, Kamis (29/05/25). Aksi ini menjadi bagian dari peringatan Hari Anti Tambang yang diperingati setiap tanggal 29 Mei.
Dalam kegiatan tersebut, para peserta mendaki Gunung Mrico untuk meninjau lanskap alam pegunungan serta lahan pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup warga. Tilik sumber mata air ini sekaligus untuk melihat secara langsung potensi kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan batuan andesit yang belakangan menjadi perhatian warga. Dua dari empat sumber mata air utama di wilayah tersebut dilaporkan berada dalam kondisi terancam.
Sehari sebelumnya, Rabu (28/5), warga telah menggelar rangkaian acara seperti mural di dinding rumah, pameran seni, diskusi hukum dan lingkungan, pertunjukan musik eksperimental, serta jagongan warga. Kegiatan ini menjadi media penyampaian pesan penolakan terhadap kehadiran tambang yang dianggap merugikan kehidupan masyarakat lokal.
Salah satu warga Dukuh Toplek, Saiful Amri (35), menyatakan keresahan yang dirasakan masyarakat sejak awal masuknya aktivitas tambang. Ia menyebut sejumlah dampak mulai terasa, di antaranya polusi suara, debu, serta ancaman bencana seperti longsor dan banjir yang mengintai permukiman serta lahan pertanian. “Di sini ada dua sumber mata air di dekat area tambang. Dua lainnya ada di Pendem Selatan dan Dukuh Tempur. Yang berada di dekat penambangan ini terancam hilang,” ungkapnya.
Sumber mata air yang dikunjungi warga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti mandi, air minum, hingga irigasi sawah. Saiful menyebut, keberadaan tambang mengancam 57 kepala keluarga (KK) di RT 1/RW 3 serta 73 KK di RT 2/RW 3. Bahkan, jarak antara tambang dan rumah warga hanya sekitar 50 meter, dengan 11 rumah berada tepat di batas area tambang. “Ini rawan longsor,” ujarnya.
Ketua RW 3, Ali Imron, menepis anggapan bahwa gerakan warga ditunggangi kepentingan tertentu. Ia menegaskan bahwa perjuangan warga murni untuk mempertahankan hak hidup mereka. “Bedol desa pun pada gak mau pergi, karena susah. Saat ini warga diminta untuk menerima aktivitas tambang dan akan dibuatkan sumur bor. Termasuk dana CSR, tapi kecil, hanya Rp5 juta per bulan,” katanya.
Ia menambahkan, tawaran relokasi bukanlah solusi. Warga tidak hanya akan kehilangan tempat tinggal, tetapi juga identitas, pekerjaan, dan koneksi sosial.
Sementara itu, Bidang Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, Adetya Pramanadira, menyampaikan bahwa bagi warga, Dukuh Toplek dan Pendem merupakan bagian dari identitas dan memori kolektif yang tak bisa dipisahkan. “Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Ini mencakup hak untuk hidup dengan tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Termasuk berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” pungkasnya. []
Redaksi10