JEPARA — Warga Desa Kawak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Jepara, kembali menggelar tradisi tahunan sepak bola api sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun di kota yang dikenal dengan sebutan Kota Ukir tersebut.
Kegiatan yang dilaksanakan pada Selasa (6/5) malam itu digelar di halaman MTs Tashilul Muhtadiin, Desa Kawak. Sebelum pertandingan dimulai, para peserta terlebih dahulu menjalani ritual di punden Buyutan, sebuah tempat yang disakralkan oleh warga setempat. Ritual ini bertujuan untuk memohon keselamatan diri sebelum bertanding dalam permainan ekstrem yang melibatkan bola api.
Bola yang digunakan dalam pertandingan terbuat dari batok kelapa yang telah direndam dalam minyak tanah, sehingga dapat menyala dalam waktu yang cukup lama. Pertandingan dimulai pada pukul 21.00 WIB dan dimainkan dalam dua babak, masing-masing berdurasi 15 menit.
Dua tim dengan masing-masing lima orang pemain turut ambil bagian dalam pertandingan tersebut. Mereka dibedakan melalui warna ikat kepala; tim “abang” mengenakan warna merah, sementara tim “ijo” menggunakan warna hijau. Seluruh pemain hanya mengenakan celana hitam tanpa kaus, serta membawa kelapa utuh dan air suci dari mbelik Sucen, yang terletak di makam punden Buyutan, saat menuju arena pertandingan.
Sebelum turun ke lapangan, para pemain diolesi air suci yang telah dicampur dengan minyak kelapa dan sabun oleh tokoh masyarakat. Ramuan ini dipercaya dapat meredam panas dari bola yang menyala.
Petinggi Desa Kawak, Eko Heri Purwanto, menjelaskan bahwa sepak bola api merupakan bagian dari rangkaian kegiatan sedekah bumi yang rutin dilaksanakan setiap tahun.
“Permainan sepak bola api ini sebagai simbol memerangi hawa nafsu dan amarah untuk mencapai kesuksesan dan kemakmuran,” kata Eko Heri dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (7/5/2025).
Ia juga menyampaikan harapannya agar tradisi tersebut dapat terus dijaga dan didukung oleh pemerintah, baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pusat.
“Kami ingin budaya-budaya lokal seperti ini menjadi warisan anak cucu kita. Jangan sampai terabaikan. Kita selalu evaluasi dan akan terus berinovasi supaya kebudayaan ini tetap terjaga,” ucapnya.
Salah satu pemain, Candra (17), warga RT 18 RW 3 Desa Kawak, menyatakan kegembiraannya bisa turut serta dalam pertandingan. Ia mengaku bangga bisa ikut melestarikan budaya desa.
“Memang sedikit panas, tapi panasnya nggak kerasa karena sudah diolesi air suci,” ujarnya.[]
Redaksi10