TOKUSHIMA DESA NUSANTARA – Di lereng pegunungan Prefektur Tokushima, terdapat sebuah desa bernama Nagoro yang menawarkan pemandangan tak biasa. Saat melintasi jalan utama desa, pengunjung tidak akan disambut riuh tawa anak-anak atau hiruk pikuk pasar, melainkan puluhan boneka seukuran manusia yang diletakkan di hampir setiap sudut. Ada yang duduk rapi di halte bus, ada pula yang tampak sibuk bekerja di sawah, bahkan ada kelompok boneka yang seakan tengah berbincang di teras rumah.
Fenomena ini bukan sekadar atraksi wisata, melainkan cerminan kenyataan yang dihadapi banyak desa di Jepang. Nagoro perlahan ditinggalkan warganya, terutama generasi muda yang memilih merantau ke kota besar demi pekerjaan dan pendidikan. Hasilnya, desa yang dulu hidup dengan ratusan keluarga kini hanya dihuni segelintir orang tua. Selebihnya, wajah-wajah mereka seolah kembali melalui boneka-boneka buatan tangan.
Bagi sebagian wisatawan, suasana ini memunculkan rasa tak biasa, bahkan disebut agak menyeramkan karena boneka ditempatkan dalam posisi menyerupai aktivitas manusia. Namun di balik itu, ada kisah personal yang menyentuh. Boneka-boneka tersebut diciptakan oleh seorang penduduk lokal untuk mengenang keluarga, tetangga, dan teman-teman yang telah meninggal atau pindah. Perlahan, jumlah boneka melampaui jumlah penduduk asli, menjadikan Nagoro dijuluki sebagai kakashi no sato atau “desa boneka”.
Kini, keberadaan boneka-boneka itu menjadikan Nagoro sebagai destinasi unik. Pelancong yang datang tidak sekadar melihat instalasi seni, melainkan turut menyaksikan potret nyata persoalan demografi di Jepang: penuaan penduduk dan berkurangnya populasi desa. Keheningan Nagoro, yang hanya diisi suara angin pegunungan, memberi pengalaman berbeda dibandingkan destinasi wisata lain di negeri tersebut.
Meski disebut “desa boneka”, Nagoro tetap menyimpan makna lebih dalam. Setiap boneka bukan sekadar pajangan, melainkan penanda keberadaan seseorang yang pernah menjadi bagian dari komunitas. Kisah ini membuat pengunjung tidak hanya merasa penasaran, tetapi juga merenung tentang arti kebersamaan yang hilang seiring waktu.
Nagoro akhirnya menjelma sebagai ruang kenangan sekaligus simbol perlawanan terhadap sepi. Di tengah penurunan jumlah penduduk, boneka-boneka itu menjaga jejak kehidupan desa yang pernah ramai. Dari sinilah lahir daya tarik yang membuat orang dari berbagai negara rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk melihat langsung bagaimana sebuah desa bertransformasi menjadi museum hidup tentang ingatan dan kehilangan.[]
Admin