DI TENGAH Derasnya arus modernisasi, Desa Talangsuko, Kabupaten Malang, justru tampil memukau sebagai benteng budaya yang masih kokoh berdiri. Melalui perhelatan Bersih Desa tahun ini, masyarakat setempat membuktikan bahwa tradisi bukan sekadar warisan, melainkan nafas kehidupan yang menyatukan warga dalam satu semangat kebersamaan dan rasa syukur yang mendalam.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan kali ini terasa lebih monumental. Pemerintah Kabupaten Malang melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) turut menginisiasi kegiatan ini sebagai bagian dari program kunjungan pembelajaran pengembangan potensi desa, menjadikan Talangsuko bukan hanya tempat upacara, tetapi laboratorium hidup tentang bagaimana tradisi, inovasi, dan partisipasi publik bisa berpadu selaras.
Sejak pagi, aura sakral sudah terasa ketika pembacaan Khodmil Qur’an dilantunkan, memberi nuansa religius dan keteduhan batin warga. Memasuki siang hari, jalanan desa berubah menjadi jalur parade budaya. Kirab Budaya, yang menjadi puncak acara, menyuguhkan visual memikat dengan barisan peserta yang mengenakan kostum adat dan kontemporer, memadukan kekayaan lokal dengan semangat zaman.
Di barisan depan, Kepala Desa Talangsuko, Burhanudin, dan istrinya tampil dalam busana pengantin adat Jawa, mengukuhkan citra pemimpin yang tidak hanya administratif, tetapi juga simbolis dan kultural. Diikuti para perangkat desa dan pemuda-pemudi desa, kirab ini menjadi perayaan keberagaman yang inklusif.
Yang mencuri perhatian, tentu saja adalah Kirab Merah Putih yang dibawakan oleh generasi muda. Diiringi irama musik karnaval yang mengguncang, para peserta mengenakan kostum pahlawan dan karakter modern, membuktikan bahwa nasionalisme bisa tampil segar tanpa meninggalkan akar.
Setibanya di lapangan desa, semangat rakyat kian menggelora. Ibu-ibu PKK menghibur penonton dengan tarian joget horeg, penuh energi dan keceriaan. Tak kalah menarik, kemunculan Sakera Ijo, tokoh ikonik lokal, memicu sorak-sorai penonton, membangkitkan kembali cerita rakyat yang nyaris hilang dari ingatan kolektif.
Namun, semua kemeriahan ini bukan semata hiburan. Sejak awal minggu, rangkaian kegiatan telah dimulai dengan pembacaan Sholawat Burdah oleh kelompok tani di sawah, lalu ziarah ke makam leluhur, dan kirim doa bersama. Puncaknya adalah arak-arakan tumpeng sedekah bumi, sebagai simbol persembahan kepada Tuhan atas limpahan hasil pertanian dan keselamatan desa.
Di malam hari, refleksi budaya ditutup dengan pagelaran wayang kulit yang menampilkan lakon “Semar Bangun Deso” oleh Ki Martak Harsono dari Sumber Bojong. Lakon ini tidak hanya menghibur, tapi menyampaikan pesan tentang pentingnya kepemimpinan yang bijaksana dan berpihak pada rakyat.
“Tradisi sedekah bumi ini bukan hanya soal budaya, tapi juga spiritualitas. Kami bersyukur atas karunia Allah, dan berharap Talangsuko senantiasa dijauhkan dari bahaya serta terus menjadi desa yang tentrem, gemah ripah, dan sejahtera,” ungkap Burhanudin, penuh haru, di tengah acara, Kamis (24/07/2025).
Talangsuko hari ini telah memberikan pelajaran penting bagi desa-desa lain: bahwa menjaga budaya bukan berarti menolak kemajuan, melainkan menjadikannya fondasi untuk tumbuh dengan jati diri yang kuat. Di tengah arak-arakan, lantunan gending, dan aroma kemenyan, Talangsuko berbicara pada dunia—dalam bahasa tradisi yang hidup dan menggugah.
Redaksi01-Alfian