ADVERTORIAL — Upaya melestarikan sejarah dan kebudayaan lokal kini memasuki babak baru di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kukar tengah menyiapkan penerbitan buku khusus yang akan mengangkat kisah sejarah serta kekayaan budaya daerah yang telah berstatus cagar budaya.
Buku ini nantinya tidak hanya berfungsi sebagai dokumen informasi, tetapi juga sebagai sarana edukasi yang akan didistribusikan ke sekolah-sekolah. Harapannya, generasi muda Kukar dapat mengenal, memahami, dan menghargai sejarah serta budaya di lingkungan mereka sejak dini.
“Jadi buku ini nantinya akan disebarkan ke sekolah-sekolah, agar peserta didik tahu lebih banyak tentang sejarah dan budaya di sekitar mereka,” ujar Staf Bidang Budaya, Pamong Budaya Ahli Muda, Cagar Budaya dan Pemuseuman Disdikbud Kukar, M. Saidar, Jumat (25/04/2025).
Program penerbitan buku ini sekaligus menjadi langkah konkret untuk menjembatani generasi muda dengan akar budaya lokal. Selama ini, materi pembelajaran sejarah di sekolah lebih banyak menyoroti peristiwa berskala nasional. Kehadiran buku cagar budaya diharapkan memberi perspektif baru, yakni bagaimana siswa dapat memahami sejarah di lingkungannya sendiri.
Dengan model pembelajaran kontekstual, siswa di Kukar tidak hanya menghafal peristiwa sejarah, melainkan juga memaknainya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui cerita lokal, nilai-nilai kearifan tradisional dapat diwariskan sekaligus memperkuat identitas daerah di tengah arus globalisasi.
Saidar menyebutkan, penerbitan buku versi cetak hanyalah awal. Disdikbud Kukar juga menargetkan untuk menghadirkan versi digital mulai 2026 melalui program bertajuk Digitalisasi Inovasi Cagar Budaya. “Insyaallah ada, saya punya program bernama Digitalisasi Inovasi Cagar Budaya, yang mungkin akan dimulai pada tahun 2026,” ungkapnya.
Digitalisasi dianggap menjadi langkah strategis untuk memperluas akses masyarakat terhadap informasi budaya. Jika versi cetak terbatas pada distribusi fisik, maka versi digital memungkinkan informasi menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk masyarakat luar daerah.
Sejauh ini, digitalisasi cagar budaya di Kukar memang sudah berjalan, tetapi terbatas pada data dasar. Informasi yang tersedia umumnya hanya berupa nama objek, titik koordinat lokasi, dan foto. Menurut Saidar, hal itu belum cukup untuk memberikan gambaran utuh kepada publik.
Karena itu, program digitalisasi yang baru dirancang akan memperkaya konten dengan narasi sejarah yang lebih lengkap, peta, hingga penjelasan kontekstual. “Termasuk kisah sejarahnya bisa ditampilkan dengan lebih lengkap, dengan peta dan lokasi yang jelas. Itulah yang sedang kita rencanakan dengan digitalisasi ini, agar informasi tentang cagar budaya bisa lebih mudah diakses oleh masyarakat,” jelasnya.
Pendekatan naratif ini juga diharapkan membuat masyarakat, khususnya siswa, lebih tertarik mempelajari sejarah lokal. Alih-alih hanya menyajikan data kaku, informasi akan dikemas dengan cara yang lebih komunikatif dan mudah dipahami.
Disdikbud Kukar menyadari bahwa proses penyusunan konten sejarah tidak bisa dilakukan secara sepihak. Karena itu, mereka membuka peluang untuk bekerja sama dengan pihak ketiga, baik akademisi, komunitas sejarah, maupun lembaga profesional.
Kolaborasi ini diharapkan menghasilkan karya yang tidak hanya informatif, tetapi juga memiliki standar akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, buku maupun konten digital nantinya benar-benar menjadi rujukan valid mengenai sejarah dan budaya Kukar.
Langkah yang tengah dirancang Disdikbud Kukar dipandang penting untuk memperkuat kesadaran budaya masyarakat. Melalui literasi sejarah, generasi muda diharapkan tumbuh dengan rasa bangga dan peduli terhadap warisan leluhur.
Lebih dari sekadar mengenang masa lalu, inisiatif ini juga menjadi investasi sosial jangka panjang. Dengan pengetahuan sejarah yang kuat, masyarakat akan lebih mudah membangun identitas sekaligus menjaga keberlanjutan budaya di tengah tantangan zaman.
Jika program ini berhasil diwujudkan, Kukar bisa menjadi contoh bagi daerah lain dalam mengintegrasikan pelestarian budaya dengan pendidikan dan teknologi. Buku dan digitalisasi bukan hanya sarana dokumentasi, tetapi juga jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. []
Penulis: Hariyadi | Penyunting: Agus Riyanto