Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai, berhasil menerapkan metode inovatif untuk mengatasi masalah hama tikus yang meresahkan petani. Dengan menggunakan Rubuha (Rumah Burung Hantu), desa ini menyediakan sarang bagi Tyto Rosenbergii atau Serak Sulawesi, burung hantu predator alami tikus sawah. Langkah ini dinilai efektif, ramah lingkungan, dan menjadi solusi untuk mengurangi risiko gagal panen akibat serangan hama.
Kepala Desa Sumberharjo, Baron Hermanto, mengungkapkan bahwa program ini lahir dari kebutuhan mendesak petani pada 2019, ketika serangan hama tikus mencapai puncaknya.
“Masyarakat resah terhadap kerusakan hasil panen akibat tikus. Sekaligus, kami ingin mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap burung hantu. Dengan membudidayakannya, burung ini justru menjadi penyelamat sektor pertanian,” ujar Hermanto (Rabu, 04/12/2024).
Budidaya burung hantu ini dimulai sejak 2017 dan melalui proses panjang. Pemerintah Desa (Pemdes) Sumberharjo bahkan menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) yang melarang perburuan burung hantu. Pelanggar diwajibkan membangun Rubuha permanen senilai puluhan juta rupiah.
Efektivitas Rubuha dalam Pertanian
Menurut Hermanto, seekor burung hantu mampu mengawasi hingga lima hektare sawah. Saat ini, di Desa Sumberharjo terdapat 40 unit Rubuha, baik permanen maupun semi permanen, yang didukung oleh BKSDA dan JOB Tomori.
“Rubuha bukan tempat tidur, melainkan tempat mengintai mangsa. Burung hantu biasanya bertelur di Rubuha, namun mereka lebih suka tidur di pohon-pohon rindang di sekitar sawah,” jelas Hermanto.
Hingga kini, Desa Sumberharjo mencatat lebih dari 61.357 hama tikus berhasil diberantas dengan metode ini. Penerapan Rubuha juga meningkatkan hasil pertanian hingga 70% dibandingkan sebelumnya.
Ekowisata Burung Hantu: Kombinasi Konservasi dan Pariwisata
Melihat efektivitasnya, Pemdes Sumberharjo mengembangkan budidaya burung hantu menjadi bagian dari Ekowisata Organik Agroekologi Burung Hantu yang diresmikan oleh Bupati Banggai, Amirudin, pada Mei 2024.
“Ekowisata ini bertujuan memberdayakan masyarakat, baik petani maupun pelaku usaha kecil. Kami gratiskan tiket masuk agar masyarakat antusias mempelajari budidaya burung hantu,” kata Hermanto.
Ekowisata ini turut mengantarkan Desa Sumberharjo meraih penghargaan Program Kampung Iklim (Proklim) dari Menteri KLHK. Burung hantu yang dibudidayakan adalah Tyto Rosenbergii, spesies endemik Sulawesi dengan postur tubuh besar, warna tubuh merah karat, dan penglihatan malam yang tajam. Populasi burung hantu di desa ini kini mencapai 35 ekor.
Selain dampak positif terhadap pertanian, ekowisata ini juga dirancang dengan fitur ramah lingkungan, seperti ventilasi silang, dinding kedap cahaya, dan konstruksi beton berkualitas. “Kami ingin program ini menjadi ikon Desa Sumberharjo, sekaligus contoh penerapan solusi pertanian yang berkelanjutan,” tutur Hermanto.
Perjuangan Mengubah Persepsi
Namun, perjalanan ini tidak mudah. Awalnya, masyarakat masih terpengaruh mitos yang menganggap burung hantu sebagai pertanda buruk.
“Melalui sosialisasi intensif, kami menjelaskan manfaat besar burung hantu. Kini, masyarakat tak hanya menerima keberadaannya, tapi juga bangga dengan inovasi ini,” tutup Hermanto.[]
Redaksi10