JAKARTA – Gelar Teknologi Tepat Guna Nusantara (GTTGN) XXV, selama tiga hari, baru saja selesai diselenggarakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, media Juli 2024 lalu. Harapan besarnya, Teknologi Tepat Guna (TTG) pedesaan berkembang pesat. Menurut Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan, Kepala Badan Pengembangan dan Informasi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), sejak awal disadari, teknologi tiada pernah netral.
“Maka, diciptakan teknologi tepat guna yang ditujukan memberdayakan desa. Semula berupa alat sederhana, lalu alat bermesin, kini lebih banyak berwujud sistem informasi. Kesederhanaannya tidak hilang, diwakili kemudahan warga desa sendiri berkiprah menjadi sang penemu,” ungkap Ivanovich Agusta, sebagaimana dilansir Detik, Senin (22/07/2024) lalu.
Dengan rata-rata APB Desa Rp 1,6 miliar per tahun saat ini, mestinya desa tidak mengalami kesulitan mengadopsi teknologi tepat guna. Kenyataannya, baru 56.898 desa (76 persen) yang menggunakan teknologi pertanian, 38.089 desa (51 persen) mempraktikkan teknologi peternakan, dan 30.786 desa (41 persen) memanfaatkan teknologi perikanan. Padahal, ketiga sektor ekonomi itu lazim tumbuh bersama di antara warga desa.
“Kala anggaran desa kalis sebagai problem, Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi A Halim Iskandar dalam pembukaan GTTGN XXVI mencetuskan solusi terkait konstruksi ekosistem produksi serta pengembangan ekosistem pemasaran teknologi tepat guna. Kedua solusi ini perlu dicermati agar secara kuantitatif desa pengguna teknologi bertambah. Secara kualitatif, budaya berteknologi dalam kerja-kerja di desa pun semakin mendalam,” urainya.
Menurutnya, pencipta jenius soliter ala Lang Ling Lung mungkin masih eksis, namun lebih banyak berwujud nostalgia. Kini, dengan beragam bahan baku teknologi, lebih sering sekelompok warga desa bersama-sama mengonstruksi teknologi. Komunitas para penemu di dalam desa atau kecamatan dapat berkomunikasi dalam Pos Pelayanan Teknologi (Posyantek).
“Bentuknya berupa ruangan yang dipenuhi alat, rancangan, hingga prototipe teknologi ciptaan warga desa. Ada prototipe alat pengupas kentang, perahu bajak untuk padi rawa, hingga aplikasi pemberi makan ikan secara teratur, dan sebagainya. Ketika pemerintah daerah turut mendukung, Posyantek juga menjadi markas dialog teknolog luar desa guna menambah sentuhan emas prototipe itu,” papar Ivanovich Agusta.
Dikatakannya, bisa jadi teknologi tepat guna diselesaikan para penemu dalam beberapa bulan, tetapi secara konseptual penciptaan teknologi dikelompokkan sebagai modal jangka panjang. Konsekuensinya, ketika musyawarah desa memutuskan membelanjakan riset, pemerintah desa paling tepat memasukkannya dalam akun pembiayaan penyertaan modal jangka panjang. “Sumber pembiayaan dapat pula berasal dari kerja sama pemerintah desa dengan dinas-dinas di kabupaten, kota, dan provinsi. Kerja sama teknis lainnya bersumber dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat yang bergiat pada teknologi sederhana, maupun dukungan swasta yang masuk ke desa,” lanjut Ivanovich Agusta.
Saat ini beragam teknologi tepat guna muncul dari berbagai daerah dengan cepat. Maka, begitu prototipe tercipta, Posyantek wajib mendaftarkan kekayaan intelektual ini ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM). Kementerian Desa PDTT membentuk bengkel Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan Inovasi untuk turut mengurusnya secara gratis. Badan Riset dan Inovasi juga membuka fasilitas laboratorium pengujian teknologi secara gratis.
Secara keseluruhan, fasilitas yang didukung mencakup paten teknologi, paten merek untuk penjualannya, dan HAKI lainnya. Ketika diajukan ke Kemenkum HAM, ternyata hasil-hasil lomba teknologi tepat guna tidak lagi digolongkan paten teknologi sederhana sebab warga desa telah menambahkan mesin, listrik, juga teknologi informasi. Agar terpercaya untuk digunakan, teknologi tepat guna juga perlu mendapat sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) dari beragam kementerian. Saat ini penting didaftarkan persentase tingkat komponen dalam negeri (TKDN), agar terbuka peluang pemerintah pusat dan daerah membeli barang modal ini secara resmi.
“Tekanan pada penemuan dan penciptaan berkonsekuensi pada fokus ekosistem produksi. Keberlanjutan produksi mulai terjamin ketika generasi penerus dari siswa Sekolah Menengah Kejuruan turut aktif dalam Posyantek. Yang dibutuhkan lebih lanjut ialah pengembangan ekosistem pemasaran. Selama ini, bentuknya terbatas pada keikutsertaan Posyantek dalam pameran-pameran teknologi yang digelar pemerintah pusat dan daerah,” papar Ivanovich Agusta.
Untuk memperluas pasar, lanjut dia, Posyantek harus terpaut dengan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Kedua lembaga ini dapat tetap berdiri terpisah, sehingga kemitraan berwujud pembelian teknologi oleh BUM Desa untuk dijual kembali ke publik, atau bersama-sama menjual teknologi. Dapat pula Posyantek menjadi salah satu unit usaha BUM Desa, sehingga sejak riset, prototipe, produksi, hingga penjualannya dijamin BUM Desa.
Sejak 2021, BUM Desa telah menjadi entitas badan hukum publik. Selain mendapatkan nomor resmi dari Kemenkumham, BUM Desa juga bisa mencatatkan Nomor Induk Berusaha ke Online Submission System (OSS) pada Kementerian Investasi. BUM Desa mesti memilih Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang paling cocok untuk jenis penjualan teknologi tepat guna.
“Guna memperluas usaha, BUM Desa membuka toko maya berikut pemasaran online di media sosial. Kerja sama dengan lokapasar menarik, apalagi dengan lokapasar yang sekaligus menyelesaikan faktur pajak dan membayarkan pajak, sehingga pembeli dari swasta dan pemerintah mudah mempertanggungjawabkan di akhir tahun anggaran. Ada kalanya pemerintah perlu mendukung lokapasar jenis terakhir ini, yang kini lazim masih kecil dan lebih banyak bergerak pada tingkat lokal kabupaten, kota dan provinsi,” tutup Ivanovich Agusta. []
Redaksi