BULUKUMBA – Sebelum Tahun 1962, wilayah administratif Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan terbagi dalam wilayah-wilayah pemerintahan yang disebut distrik. Model pembagian wilayah distrik adalah merupakan model pembagian wilayah peninggalan masa penjajahan kolonial belanda. Pada Tahun 1962 Pemerintah Kabupaten melakukan perampingan wilayah dengan penggabungan sejumlah distrik menjadi satu wilayah administratif yang disebut kecamatan.
Berdasarkan sejarah desa sebagaimana dirilis Pemerintah Desa Dwitiro, penggabungan administrasi wilayah distrik tersebut kemudian melahirkan Kecamatan Bontotiro yang merupakan penggabungan distrik Tiro dan distrik batang Bontotangnga. Perubahan tersebut berimplikasi bukan hanya pada luasan wilayah administratif tetapi juga pada penyebutan, termasuk gelar pimpinan wilayah.
Pada masa distrik, setiap wilayah distrik dikepalai oleh seseorang gallarang yang berasal dari penguasa lokal dengan berdasar pada prinsip pemerintahan keturunan bangsawan. Sebelum penataan, distrik Tiro dipimpin oleh seorang Gallarang yang berkedudukan di Kalumpang bergelar Karaeng Tiro, sedangkan distrik Batang Bontotangnga juga dipimpin oleh gallarangnya sendiri.
Setelah penggabungan, wilayah kecamatan dipimpin oleh seorang camat yang diangkat oleh bupati. Meskipun demikian, pimpinan kecamatan masih ada yang dipilih karena keturunannya. Penataan administrasi wilayah tidak hanya berhenti pada wilayah perampingan pemerintahan tingkat kecamatan, tetapi berlanjut pada penyederhanaan pemerintahan tingkat terendah yaitu desa, pada tahun 1966, pemerintah mencanangkan Program Pembentukan Desa Gaya Baru, sebuah program penataan wilayah pemerintahan tingkat desa yang bertujuan melakukan penyederhanaan guna mengefektifkan pelayanan dan pembinaan, memudahkan pengembangan dan pengamanan wilayah pada tingkatan desa.
Penggabungan wilayah pemerintahan itu melahirkan desa-desa baru dan bertambah menjadi 12 desa di masing-masing distrik. Desa-Desa tersebut adalah Hila-Hila, Buhung Bundang, Erelebu, Salu-Salu, Caramming, Kalumpang, Timbula, Tulekko, Tombolo, Mattoanging, Bonto Bulaeng, dan Tamalala.
Pada perkembangannya, keduabelas desa itu dilakukan perampingan dengan menggabungkan beberapa desa hingga menjadi lima desa, yakni, pertama, Ekatiro, yang kemudian berubah status menjadi sebuah kelurahan, gabungan dari Hila-hila dan Erelebu. Kedua, Dwitiro, gabungan dari Desa Salu-Salu dan Desa Buhung Bundang. Ketiga, Tritiro, gabungan dari Kalumpang dan Caramming. Keempat, Batang yang merupakan gabungan dari Mattoanging, Bonto Bulaeng dan desa Tamalala. Terakhir, desa Bontotangnga, gabungan desa Timbula, Tulekko dan desa Tombolo.
Desa-desa tersebut kemudian kembali dimekarkan menjadi dua belas desa, dan satu Kelurahan. Desa Dwitiro kembali dimekarkan dan melahirkan desa Buhung Bundang. Kini, desa Dwitiro mencakup wilayah Jannaya, Salu-Salu, Erekeke dan Basokeng yang sekarang keempat wilayah tersebut menjadi dusun.
Penduduk yang tinggal pada wilayah-wilayah tersebut umumnya masih memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain. Proses perkawinan yang melahirkan keluarga baru terbentuk sejak lama, apalagi pada masa lampau, pernikahan umumnya dilakukan dengan sistem perjodohan yang diatur oleh orang tua, tokoh masyarakat dan Pemerintah Desa. Perjodohan semacam ini umumnya dilakukan untuk mendekatkan kembali keluarga yang sudah terpisah jauh dari garis kekerabatan, meskipun juga ada yang baru membuka hubungan kekerabatan.
Secara umum masyarakat yang berdiam di Desa Dwitiro menggunakan bahasa Konjo Makassar dalam berinteraksi satu sama lain. Bahkan dalam urusan-urusan pemerintahan, di mana pegawai pemerintahan desa juga adalah orang Dwitiro. Desa ini bertipologi dataran rendah dengan ketinggian 240 meter di atas permukaan laut, dan dengan suhu udara rata-rata 20-25 Celsius.
Luas wilayah administratifnya adalah 5.78 hektare, terdiri dari 16 rukun tetangga dan 8 rukun warga. Batas-batasanya, di sebelah Utara bersinggungan dengan wilayah desa Bontobulaeng, di Selatan dengan Buhung Bundang, di Barat dengan desa Batang, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone. Desa ini cukup dengan ibu kota kecamatan yang hanya berjarak 3,5 kilometer, namun cukup jauh dengan ibu kota kabupaten, sekitar 40 kilometer. Dengan ibu kota provinsi, jaraknya sangat jauh, sekitar 200 kilometer.
Kondisi jalan utama dari pusat pemerintahan kecamatan sudah beraspal, dan kondisi jalannya sudah cukup baik. Sedangkan jalan akses untuk ke dusun-dusun yang ada di desa Dwitiro dengan wilayah lain kondisinya juga cukup baik namun masih ada yang berupa jalan perkerasan tanah dan agregat.
Hampir sebagian tanah yang ada di desa digunakan untuk lahan pertanian. mata pencaharian penduduk Desa Dwitiro sebagian besar adalah sebagai Buruh Tani dan sebagian lainnya bekerja sebagai wiraswasta, tukang dan petani. Lahan yang ada di Desa Dwitiro terbagi menjadi tanah sawah dan ladang.
Dalam bidang kemasyarakatan, masyarakat setempat punya ikatan kekeluargaan dan gotong royong yang kuat. Keadaan pemerintahan dan kelembagaan di desa Dwitiro seperti pada desa-desa lainnya, dipimpin oleh seorang petinggi dan dibantu oleh sejumlah perangkat desa. Kebijaksanaan desa disahkan melalui rapat desa, disetujui oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). Pelaksanaan program diawasi BPD serta masyarakat. Pada dasarnya BPD memberikan angin segar bagi tegaknya demokrasi lokal dan kedaulatan masyarakat desa Dwitiro.
Di bidang kesehatan, desa Dwitiro lebih menitik beratkan pada program kesehatan ibu dan balita. Pelaksanaan kegiatan Posyandu dan perkumpulan ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga tersebut dilaksanakan setiap bulan. Kegiatan posyandu di antaranya adalah penimbangan bayi dan balita, imunisasi, pemantauan gizi anak, pemberian vitamin, pemberian makanan tambahan bagi balita, serta penyuluhan tentang pola hidup sehat. []
Redaksi 01